Saturday 27 September 2008

Aku Yang Sekarang

Again, aku kembali ke situasi yang aku tidak suka. Ya, memang ini adalah situasi yang terlah terjadi selama beberapa bulan belakangan ini. Tapi dua hari kemarin aku seolah diyakinkan kalau aku kemungkinan akan terbebas dari situasi ini dan kembali ke masa yang dulu, masa yang ku sukai, dimana aku miliki segalanya baik itu cinta, persahabatan sejati, dan kehangatan keluarga. Tapi ternyata aku salah. Salah besar.

Dua hari kemarin seolah menunjukkan padaku kalau persahabatanku dengan sahabatku yang kini seperti dibatasi oleh jurang besar seolah akan mulai membaik lagi. Aku kira keberadaanku bisa diakui lagi olehnya, setelah belakangan ini dia seolah tak pernah mengenalku. Semua pikiranku tentang dia belakangan ini, misalnya pikiran bahwa dia adalah orang mati rasa yang akan melupakan sahabat lamanya ketika menemukan sahabat baru yang menurutnya jauh lebih baik, atau pikiran bahwa dia adalah seorang pikun yang melupakan teman sejolinya yang dulu selalu menjadi tempatnya menceritakan segala isi perasaan, atau juga pikiran bahwa dia orang jahat yang akan membuang begitu saja teman yang menurut dia tidak berguna lagi ketika dia temukan teman yang baru, yang lebih berguna untuknya, tiba-tiba hilang begitu saja, dan yakin kalau dia memang sahabatku yang aku kenal. Tapi itu hanya berlangsung selama dua hari. Pada hari ini, dia kembali menjadi dirinya yang semula. Bukan lagi sahabatku yang akan selalu ingat padaku di kala ketidak-enakan melanda hatinya. Bukan lagi sahabatku yang akan selalu serius mendengarkan masalah-masalahku dan menjadi pendengar yang baik. Bukan lagi sahabatku yang mau tahu tentangku, apakah aku tengah baik, atua buruk. Juga bukan lagi sahabatku yang akan mengingat bagianku ketika dia mengambil sesuatu. Dia yang sekarang tetap saja dia yang sekarang, dia yang telah berubah.

Terlalu banyak yang berubah. Dia, sahabatku itu, adalah contohnya. Dia dingin, dia bertampang pendendam, dia tidak peduli, bertolak belakang dari sifatnya yang dulu. Dia berubah, tapi hanya padaku. Bagi yang lain dia masih saja dia yang dulu. Takkan ada yang akan katakan kalau dia berubah, karena perubahan itu hanya aku yang mengalami.

Semua hanya terjadi padaku. Dia berubah, begitu juga sang kakak. Sang kakak yang selama 11 tahun tidak pernah benar-benar aku kenali, lalu tiba-tiba berada di sisiku dan mendadak akrab denganku. Semua wejangan akan ia lontarkan, kalau aku ceritakan perbuatanku yang ternyata salah. Dia mau tahu tentangku, karena dia sangat perhatian pada adiknya. Namun kini tidak lagi. Sang kakak tidak ada bedanya dengan sahabatku itu. Mereka bersifat sama, dan berubah sifat pada momen yang sama. Meskipun alas an sahabatku yang tiba-tiba berubah sikap padaku tak dapat ku jelaskan, tapi untunglah aku mengetahui alasan kakakku begitu. Itu membuatku lebih lega, jauh, karena aku jadi tidak harus bertanya-tanya terus, “kenapa sih dia begitu?”


Aku tidak akan pernah berharap apapun lagi. Setelah semua ini, hatiku juga ikut berubah. Aku bukan lagi orang yang menjunjung tinggi persahabatan dan keharmonisan lagi seperti dulu. Terlalu banyak yang terjadi, yang membuat hatiku kini menjadi sekeras baja. Semua yang membuatku sedih ini tidak bisa membuatku menangis. Aku tidak akan pernah percaya siapapun lagi sekarang. Persahabatan bagiku kini hanya ku pandang sebagai warna dalam hidup dan aku jamin seratus persen, bila lagi-lagi aku harus kehilangan persabatan lagi aku tidak akan bagaimana. Sekali saja sudah cukup untuk merubah sebagian besar dari diriku. Agar aku tidak mengalami lagi hal yang sama, aku lebih memilih untuk tidak percaya lagi. Apapun itu, yang aku percaya kini hanyalah diriku sendiri.

Kalau nanti suatu saat ada yang bertanya padaku mengapa aku begini, dan yang melontarkan pertanyaan itu adalah orang yang berhubungan dengan segala hal yng membuat aku jadi begini, aku hanya akan menjawab “Apa yang terjadi di masa lalu tidak akan pernah bisa diperbaiki, dan dampak dari apa yang terjadi di masa lalu juga akan sangat sulit untuk dirubah.”

My Poem : Wo Chun Zai

Wo kai shi dong, ke mei ren zhi dao
(Aku bergerak, tak ada yang menyadari)
Wo kai shi zhan, ke mei ren kan jian
(Aku berdiri, tak ada yang menengok)
Wo kai shi zou, ke mei ran ting jian
(Aku berjalan tak ada yang mendengar)
Wo kai shi pao, ke mei ren cai
(Aku berlari tak ada yang menggubris)
Wo suo zuo de yi qie dou mei ren zhi dao
(Apapun yang aku lakukan, tak ada yang tahu)
Ye mei ren xiang zhi dao
(Tak ada yang ingin tahu)

Ran hou wo kai shi han
(Lalu aku berteriak)
Ke mei ren hui da
(Tak ada seorang pun yang menjawab)
Ye xu ta men ting de dao
(Mungkin mereka mendengar)
Ke ta men bu xiang cai wo
(Tapi tidak mau menengok)
Yin wei ta men jue de bu zhong yao
(Karena mereka merasa itu tidak penting)
Wo shi bu zhong yao de
(Aku ini tidak penting)
Zhi neng ma fan bie ren
(Menyusahkan saja)

Bu tian le jiu dei diu
(Habis manis sepah dibuang)
Ke neng na jiu shi ta men gei wo de ying xiang
(Semboyan itu yang mereka berikan padaku)
Yin wei ta men zhi neng zai xu yao wo de shi tao hao wo
(Karena aku hanya akan dibaiki ketika dibutuhkan)
Ran hou zai bu xu yao de shi hou diu xia wo
(Dan ditinggalkan begitu saja ketika sudah tidak dibutuhkan)

Chuan
(Letih)
Lei
(Lelah)
Sheng qi
(Kesal)
Bu yao le
(Tak mau lagi)
Wo hao xiang yi ge ben dan de ren
(Aku seperti orang bodoh)
Tai ben
(Terlalu bodoh)
Suo yi cai yao cheng zu
(Sampai mau bertahan)
Ti na xie bu yao li wo de ren zhao xiang
(Untuk mereka yang tidak ingin tahu tentangku)


Bu yao le, bu yao
(Tidak lagi, tidak)
Xian zai wo zhi neng zai yuan yuan de di fang kan zhe
(Sekarang aku hanya akan memandang dari jauh saja)
Deng dai
(Menunggu)
Deng dao ta men xu yao wo de na shi hou
(Bila tiba waktunya mereka membutuhkan aku)
Wo cai hui chu xian
(Baru aku akan muncul)

Dang ta men kai xin shi
(Kalau mereka sedang senang)
Wo hui li yuan yi dian
(Aku akan menjauh)
Er bu hui da rao ta men de xin fu
(Dan tidak akan merusak kesenangan mereka itu)

Man man, ke shi yi ding de
(Perlahan tapi pasti)
Ta men hui fa xian, wo de chun zai..
(Mungkin barulah mereka akan menyadari, aku ini ada..)

Friday 26 September 2008

September

Sampai kapan begini terus? Kegagalan terus-menerus datang, seolah susul menyusul hendak memberitahuku, bahwa seharusnya aku mundur saja. Aku tidak mengerti mengapa begini. Apakah memang asas “Orang kaya tetap kaya, miskin tetap miskin” harus berlaku pada orang kecil seperti aku yang ingin menunjukkan kelebihannya yang selama ini tak mau diketahui semua orang? Ini tidak adil.

Aku adalah siswa SMA Santa Ursula yang bernilai standard pada tahun pertamaku disana dan masuk jurusan IPA dengan nilai pas-pasan. Lalu di tahun kedua aku berhasil memenuhi permintaan sekolah, yaitu mencapai nilai 75 untuk 4 mata pelajaran ilmu dewa. Namun aku gagal memenuhinya pada semester kedua.

Aku bertekad membayar hutangku ini di tahun ketigaku. Namun semuanya kembali berjalan tidak lancar, tidak seperti yang aku inginkan. Nilai-nilai mulai hancur, belum sampai waktu dimana rapor mid semester saja, jumlah remedialku sudah mencapai belasan. Nilai-nilai itu bukan harus diremediasi karena nilai 73 atau 74, melainkan karena score yang terlalu jauh dari standard kompetensi. Lalu puncaknya : September.

Aku jamin seratus persen, bulan ini bukanlah bulan keberuntunganku. Malah lebih menjurus ke bulan kesialanku. Di sinilah puncak dimana nilai-nilaiku hancur lebur. Lalu puncak dimana aku menyadari bahwa sahabatku mulai menjaga jarak dariku. Bulan ini juga bulan dimana aku kehilangan salah satu teman yang pernah menjadi teman berbagiku dulu, yang meninggalkan semua orang yang dicintai dan mencintainya di dunia ini, semoga menuju ke dalam ketenangan abadi. Lalu kemudian aku juga harus dihadapi dalam suatu masalah yang seharusnya tidak bermasalah : Retret atau Ujian.

Aku harusnya hadir dalam ujian Associated Broad Royal School Of Music (ABRSM) Violin Grade 3, 18 Oktober nanti. Tapi ternyata jadwal retretku yang seharusnya tanggal 22-25, dirubah menjadi 16-19. Miss. Airin dari Elly Lim Music Studio, lembaga yang mendaftarkanku untuk ujian itu, berkata “Jadwalnya sudah ditentukan dari pihak Inggris. Tidak bisa diganggu gugat.” Kata-kata serupa diucapkan pula oleh Sr. Moekti K Gondosasmito, kepala sekolahku, “Kamu ini non-katolik, retret hanya satu gelombang, jadwal retretmu juga tidak bisa diganggu gugat.”

Astaga! Kalian semua mau membuat aku gila! Yang benar saja! Kakakku yang sangat dingin dan mati ekspresi itu bisa marah-marah kalau tahu aku tidak bisa datang ke ujian seharga 1 juta itu. Aku yakin dia tidak akan biayai pendidikanku sepeserpun lagi setelah ini, padahal aku tidak akan sanggup untuk sekolah atau apapun itu lagi kalau bukan karena sokongan dari kakakku. Tapi peraturan sekolahku sangat-sangat strict sampai-sampai aku hanya boleh memikirkan masa SMA tanpa bisa dengan lancar mempersiapkan untuk kuliahku yang sangat membutuhkan ijazah itu.

Satu hal lagi yang membuat aku sangat kesal. Pada hari ini, rasanya ingin aku marah-marah dan tidak bisa mengendalikan emosi. Kamis, 25 September 2008, aku harus mempresentasikan tentang Indonesia bersama teman-teman kelompokku pada pelajaran kewarganegaraan. Lalu aku juga harus mengikuti dua ulangan remediasi yaitu biologi dan kimia. Di hari itu juga, aku harus datang ke Vista Education untuk mempelajari lebih lanjut mengenai University College Sedaya International, yang seharusnya menjadi tempat tujuanku setelah lulus SMA nanti. Tapi semuanya tidak lancar.

Presentasi Indonesia, yang memaksaku untuk menyalakan internetku sampai 3 jam, lalu menunggu datangnya data-data yang dikirimkan dari teman-teman kelompokku. Aku tidak hanya bertugas menggabungkan data-data dari mereka, seperti yang mereka pikirkan. Data yang masuk padaku masih harus aku olah. Dengan bodohnya, ada data yang aku kira itu sudah selesai, namun sesungguhnya masih harus diolah. Jadilah sebuah presentasi yang hancur di tanganku, dan terasa menyebalkan ketika jerih payahku sampai jam 3 pagi dan menelantarkan dua remedialku itu, masih banyak kesalahan. Presentasi kami ternyata mengandung banyak data penuh kesalahan. Aku sudah sempat kalap, merasa bersalah dan ingin menyalahkan orang yang sepertinya tidak mneghargai pengorbananku bercampur jadi satu. Aku tidak katakana apa-apa, sama sekali, karena tidak ada gunanya. Karena aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentangku. Aku juga tidak mau tahu.

Remedial biologi. Awalnya lancar. Namun perlahan tapi pasti mulai bermunculan soal-soal yang sampai maksudnya pun aku tidak mnegerti. Aku yakin, tidak akan mungkin remedial itu membantuku mencapai nilai kompeten.

Aku tidak mau yang ketiga ini hancur. Tapi lagi-lagi terjadi hal yang sama. Di kala tiga teman yang bersama denganku mengikuti remedial berkata “Aku bisa”, aku berkata “Aku bisa tapi jawabanku sama sekali tidak sama dengan mereka”. Seperti yang telah disebutkan terdahulu, aku tidak mendapatkan hasil yang sama dengan mereka.

“Sudah, aku mau pulang, aku lelah.”

Itu yang aku pikirkan. Tapi aku harus pergi ke Vista Education. Lalu dengan pikiran mulai membaik, aku pergi.

Ternyata ini saja bisa membuatku mencapai puncak emosi. Aku diberitahukan kalau syarat yang sekarang tengah aku incar saat ini hanya bisa membawaku ke jurusan Contemporary Music, dan bukan Classical Music seperti yang aku inginkan. Kalau aku memang inginkan jurusan Classical Music itu, aku harus memiliki syarat yang 3 kali lebih sulit dari sekarang. Astaga! Benar-benar mau buat aku gila! Kalau dari awal kau katakana aku akan bergerak lebih cepat dari sekarang. Sekarang baru diberitahu, aku sudah banyak membuang banyak waktu yang berharga hany akarena salah informasi itu!!!

Aku tidak tahan lagi. Aku marah. Sangat marah. Meskipun marah itu, marah terpendam. Aku tidak katakan pada siapapun. Tapi aku benar-benar marah. Sampai aku temukan lagi hal yang tidak lancar seperti sekarang, aku mungkin benar-benar akan marah. Bukan marah terpendam lagi, melainkan marah yang meledakkan dunia.

Di bawah ini, sebuah lagu yang menyatakan kejatuhan yang haruskan dibangkitkan lagi dari kegagalan.

Ying Xiong – Chris Yu

Qi pao, yue guo
Dai shang de chi bang
Bu xiang fei nuo
Cheng gong cha jian er guo

Meng xiang, cheng nuo
Na pa sai bu guo
Bu cheng mi huo
Fang xiang xin ling zhang wo

Fang qi, wo bu hui shuo
Mu guang yong yuan shan suo
Shi bai de ying xiong bu duo
Chao yue shi bu xiu de xuan zhi

Yan lei han shui wo bu hui shuo
Mu guang, dou zai kan zhi wo
Shi bai de ying xiong bu duo
Zhong dian shi yong heng xuan zhi
Rong yi shi meng de yan si

INDONESIAN TRANSLATION
Mulai berlari, terus berlari
Dengan sayap yang menyandang luka
Tidak ingin terbang
Kesuksesan bagaikan anak panah yang melintas

Mimpi dan tekad dalam diri
Membuat tiada segala ketakutan akan kegagalan
Tidak pernah tertipu
Mengarah pada hati nurani dan mulai berpegangan

Menyerah, takkan pernah kukatakan
Pandangan mata selamanya bagaikan bintang yang berkelap-kelip
Pahlawan yang gagal tidak banyak
Menjadi luar biasa adalah suatu hal yang abadi

Air mata dan keringat yang mengalir takkan pernah kukatakan
Pandangan mata itu semuanya mengarah padaku
Pahlawan yang gagal tidak banyak
Hal terpenting adalah pilihan terbaik
Kebanggaan adalah warna dari sebuah mimpi

Thursday 25 September 2008

Apa Yang Terjadi Denganmu?

Aku sungguh tidak mengerti apa yang dipikirkan guru karya tulisku itu. Seorang pribadi yang dahulu selalu aku banggakan sebagai guru terbaik dan tersantai di Santa Ursula, dan menjadi factor pembantu terbesar seluruh anak kelas X untuk masuk ke jurusan yang diidam-idamkan hampir semua orang tua murid : IPA, kini menjadi sesosok guru menyebalkan yang akan selalu memasang tampang bete saat mengajar pelajaran pagi dan hanya kembali normal pada saat pelajaran siang. Dahulu aku tidak pernah takut dikucilkan oleh keluargaku yang turun temurun mahir kimia itu. Aku juga tidak takut di rapor SMA-ku tidak ada satupun nilai yang bisa aku banggakan. Karenanya, dipastikan aku miliki satu pelajaran yang nilainya tinggi.

Tapi sekarang? Dia berubah. Entah karena kami bertemu lagi di waktu dan ruang yang berbeda, sehingga dia terpaksa harus berubah juga. Sekarang pelajarannya itu bagaikan teka-teki untukku. Pada saat belajar aku akan merasa sangat percaya diri. Tapi saat ulangan, dia akan memberikan soal yang menghadirkan kekesalan dan kebingungan karena tak kunjung memudahkan seperti dulu lagi. Aku bingung. Mengapa aku begitu bodoh? Begitu banyak kegagalan di lingkunganku yang baru, termsauk segala hal yang telah berubah.

Tuesday 23 September 2008

Tak Setia Kawan Tapi Baik Hati

Aku sungguh tak mengerti apa yang harus ku lakukan pada sahabatku itu. Aku akui dia cukup untuk membuatku kesal dengan semua jalan pikirannya yang tidak bisa aku tebak. Dia juga membuatku cukup malu dengan mempunyai teman yang kelihatan sangat tidak setia kawan seperti itu. Dia juga membuat aku "capek hati" dengan semua sikapnya itu. Tapi hari ini dia juga buat aku tak enak hati padanya.

Aku harus kumpulkan laporan biologiku hari ini sebelum jam 7 atau aku akan kena "cha kwetiau" lagi oleh si penggemar binatang kuning ke-11 itu. Dengan pasti aku membuat kerangkan laporanku dengan harapan aku bisa cepat selesai dan cepat tidur jadi hari ini aku bisa bangun pagi dan datang pagi untuk print. Tak disangka, kakakku yang kelewat mati ekspresi itu meninggalkan colokan laptopnya di kantor sehingga aku tidak bisa mengerjakan laporan yang seharusnya aku ketik itu. Mulailah aku tenggelam dalam kepanikanku dan aku mulai menghubungi semua teman yang menurutku bisa menenangkan diriku. Pikiran gila datang dari mana membuatku menghubunginya padahal bisa saja dengan sifatnya yang sekarang, yang seolah-olah membenciku.

Lalu dia hanya menenangkanku, seperti yang aku harapkan. Dari semua yang aku hubungi hanya dia yang benar-benar menenangkanku. Ya, tidak heran kalau aku menganggapnya sebagai teman baikku yang paling baik dalam hidupku. Sayangnya, dia tidak merasa begitu.

Ya begitulah. Sampai aku harus ke warnet jam 10 malam ditemani ibuku, demi sebuah laporan sialan. Lalu aku juga bangun pagi-pagi pada hari ini untuk print.

Tidak disangka dalam perjalanan menuju ke ruang multimedia sekolah, aku bertemu dengannya. Seperti yang biasa dia lakukan semenjak kami naik kelas, dia hanya membuang muka bila bertemu denganku, tapi kali ini tangannya bergerak, mengambil sesuatu dari map yang dia pegang.

"Nih, laporan loe"

Hanya itu yang dia ucapkan sembari menyerahkan beberapa lembar yang aku yakini sebagai laporan biologi.

"Astaga, ini adalah dia yang dulu"

Kataku dalam hatiku. Aku benar-benar tidak menyangka. Aku kira sikap dan pandangannya terhadapku sudah benar-benar berubah 100%, meskipun aku tidak pernah tahu kenapa dia berubah seperti itu padaku. Tapi hari ini dia menunjukkan padaku kalau masih ada seperseribu bagian dari dirinya yang dulu masih hidup dalam lubuk hatinya. Dari dulu dia memang seperti itu, kelewat baik pada semua orang. Kalau aku masih berpikir kalau dia adalah sahabatku yang dulu, aku pasti tidak akan katakan apa-apa padanya karena aku tahu apa yang akan dia lakukan. Tapi karena aku berpikir kalau dia tidak akan pedulikan aku, palingan hanya akan menenangkanku hanya karena dia kasihan, aku hubungi dia.

spontan aku bertanya, "loe bikinin buat g?"

"Ga, buat mami loe. Kalau bukan loe siapa lagi sih?"

Balasnya, dengan agak sedikit membentak -- hal yang selalu dia lakukan padaku sekarang.

Bingung bercampur agak kesal tercampur dalam hatiku. Dia tahu aku malam-malam pergi ke warnet hanya untuk mengerjakannya, aku sudah mengerjakannya. Tapi tetap saja dia bersikeras membuatkan padaku. Aku tahu maksudnya baik, tapi aku menyayangkan usahaku yang sudah bersusah payah itu. Tapi aku akan kumpulkan yang telah dia kerjakan untukku. Aku tidak akan menyayangkan usaha sahabatku hanya karena aku memikirkan usahaku sendiri. Tapi, masih larut dalam ketidakpuasan, spontan ketika dia membentak padaku seperti itu aku mencak-mencak.

"Jutek banget sih"

Memang tidak terlalu keras, tapi aku yakin dia tidak tuli seperti aku. Aku yakin 1000% dia mendengarnya. Setelah itu, aku terus-terusan tak enak hati padanya. Mau berkata maaf padanya, yang ada dia hanya akan bersikap dingin dan membuatku semakin bingung untuk mengetahui cara meminta maaf.

Dia memang tidak setia kawan mungkin. Cerita hidupnya yang lalu juga menunjukkan seperti itu, bukan hanya kali ini saja. Tapi dia punya hati. Dia baik. Terlalu baik. Sampai-sampai aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin tidak terlalu dekat lagi dengannya, karena dia hanya akan bersikap sensi dan dingin padaku, dan membuatku seolah-olah tidak pantas untuk dianggap. Tapi aku tidak bisa memusuhi orang sebaik dia. Pada dasarnya aku tidak pernah bisa menjauhi orang yang oernah jadi teman baikku. Aku bingung. Sungguh bingung. Dekat dengannya hanya akan menyusahkannya karena sifatku yang ceroboh. Tapi menjauhinya aku juga bingung. Karena sifatku yang terlalu menjunjung tinggi persahabatan dan hanya mengenal kata mendekat, tanpa mengenal kata menjauh dalam kamus bahasaku.

Saturday 20 September 2008

Permen Karet

Hari ini si penggemar binatang kuning ke-20 bercerita-cerita padaku. Aku tidak menyangka kalau ternyata di dunia ini, bisa ada beberapa orang yang mengalami hal yang persis sama. Setelah Pendosa Ke-15, ternyata masih ada lagi yang mempunyai kasus sama denganku. Namun, agak berbeda konteksnya.

Katanya, dia punya teman dekat, yang sudah tiga tahun bersahabat dengannya. Tapi sejujurnya, dia lelah dengan persahabatan mereka. Karena sesungguhnya banyak sekali orang yang tampaknya berusaha memecah-belah persahabatan mereka. Lalu mereka itu sama-sama pendiam dan tertutup, sehingga kalau diantara mereka ada yang tidak mengenakan, pasti dua-duanya hanya diam, seperti perang dingin. Aku merasa cerita itu hampir sama dengan yang terjadi padaku dan sahabat karibku itu. Bedanya, dia masih dekat dengan sahabatnya itu. Tapi kalau aku dan sahabatku, tampaknya tidak demikian.

Aku menceritakan banyak hal padanya. Lebih tepatnya, tentang aku dan sahabatku. Lalu dia bertanya padaku,

“Sebenarnya tidak apa-apa atau ada apa-apa kalau aku dekat denganmu? Memang kita sudah kenal sejak dulu, tapi kan kita baru dekat sekarang, apa tidak apa-apa sama sahabatmu itu?”

Aku bingung menjawabnya. Lalu aku yang biasanya tertutup mulai mengatakan yang sebenarnya.

“Ya tidak apa-apa. Kalau mau aku katakan yang sebenarnya, sahabatku itu dulu yang menjaga jarak dariku, baru kau dekat denganku.”

Hanya kata “Oh” awalnya yang diucapkannya. Tapi tidak berapa lama setelah itu dia katakan lagi.

“Kenapa ya bisa begitu. Pantas saja, si penggemar binatang kuning ke-17 pernah bertanya padaku, mengapa kau dan sahabat karibmu itu sudah tidak dekat lagi.”

Bukan hanya si ke-17 yang bertanya begitu. Sesungguhnya banyak. Yang paling sering makanya bisa aku ingat (berhubung ingatanku sangat-sangat buruk), adalah si penggemar ke-6. Bahkan pertanyaannya lebih ekstrim lagi. “Kenapa sahabatmu itu menjauhimu sekarang?” dan satu pertanyaan lagi yang terlontar ketika aku menghampirinya, yaitu “Merasa dicuekin?”. Haha, aku tidak tahu harus menjawab apa. Hanya saja, aku tidak mau ada yang berpikiran buruk baik tentang aku, maupun tentang sahabatku.

Kemudian aku ceritakan pada si penggemar ke-20 itu, tentang sifat dan karakter sahabatku. Mungkin saja dia itu kalau punya teman baru agak kesulitan untuk nyambung lagi sama teman lama. Jadi ya begitulah. Itu juga bisa dibuktikan kalau kita tinjau masa lalunya. Apalagi dia tipe orang yang mudah terpengaruh. Yah, beginilah jadinya.

“Andaikan aku bukan seorang manusia, tapi hanya seekor lalat, pasti tidak akan mengenal hal-hal seperti ini.”

Begitulah kata-kata yang terlontar dari mulut si penggemar ke-20. Haha, ia, betul juga kalau dipikir-pikir.

Lalu dalam hati, aku menyimpukan sesuatu. Terkadang persahabatan itu bisa saja seperti permen karet. Ketika masih baru, sangat digemari dan tidak mau dijauhi. Tapi setelah rasa manis permen karet itu telah hilang, mulailah dijauhi dan pelan-pelan dibuang. Sahabat karibku itu mungkin memiliki sifat yang agak seperti itu, menganggap persahabatn seperti permen karet. Tapi itu sedikitpun tidak bisa kusalahkan bagiku. Karena mencari teman sejati, seperti yang tengah dilakukan sahabatku itu, adalah hal yang menjadi hak semua orang.

Berikut ini adalah lagu yang belakangan ini aku nyanyikan untuk sahabatku itu.

THE CALL – Regina Spektor

It started out as a feeling which then grow into a hope
Which then turn into a quite thought
Which then turn into a quite word
And then the word grow louder and louder till there was a battle cry
I’ll come back when you call me
No need to say goodbye

Just because everything’s changing doesn’t mean it’s never been this way before
All you can do is try to know who your friends are as you head off to the war
Pick a star on the dark horizon and follow the light
You’ll come back when it’s over
No need to say goodbye

Now we’re back to the beginning
It’s just a feeling and no one knows yet
But just because they can’t feel it too doesn’t mean that you have to forget
Let your memories go stronger and stronger till they before your eyes
You’ll come back when they call you
No need to say goodbye

Tertahan Sesaat

Aku berdiri di bagian belakang kelas sendirian ke sana, dan melakukan sesuatu sendirian di sana. Namun di dekat situ ada si anggota penggemar binatang kuning ketiga. Aku lihat dia juga sendirian. Begitu banyak hal, selayaknya seorang teman dekat, yang ingin aku ceritakan padanya. Aku mulai mencari topic pembicaraan. Lalu setelah otakku berputar selama beberapa detik, aku menyapanya. Lalu aku ajak dia bicara, mulai ceritakan apa yang ingin aku bicarakan. Belum sampai bagian tengah cerita dia dipanggil oleh sahabat barunya. Karena aku tidak enak padanya, aku katakan saja, “kalau mau duluan, gak apa-apa koq..” Kemudian tanpa menjawab apapun dia pergi.

Beberapa jam setelah itu, aku menemukan momen yang pas lagi untuk bercerita. Aku ingin tahu, apa dia benar-benar setidak-berperasaan begitu sampai-sampai tidak ada kata “peduli” dalam kamusnya. Aku lanjutkan apa yang tadi tertahan. Dia mendengarkan baik-baik. Tapi setelah itu, bagai angin lalu yang tak pernah berhembus, ceritaku terlewakan begitu saja tanpa respon.

“Keterlaluan”

Dalam hatiku ada suara seperti itu. Untunglah malaikat dalam benakku masih hidup dan terbangun dari tidurnya tepat pada waktunya.

“Tidak, tidak, kau tidak boleh berpikiran seperti itu. Kau harus mgerti dia, memaklumi sifatnya. Kan kau sendiri yang katakan kalau tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa merubah karakter orang lain.”

Ya, ya, benar juga. Bagaimana mungkin aku bisa berpikiran seperti itu tentang dia. Hahaha. Aku tertawa dalam hati. Untuk saat ini, aku tidak pikirkan apapun lagi. Kalau dulu aku berpikir pasti ada yang mempengaruhi dia sampai berubah seperti ini. Tapi sekarang tidak lagi. Untuk apa menyalahkan seseorang yang ingin mencari teman sejati dalam hatinya.

Thursday 18 September 2008

Surat Untuk Pendosa Ke-15

Dear my friend,

Surat ini aku tuliskan untukmu untuk melanjutkan apa yang pernah aku ceritakan padamu. Aku tidak katakan ini padamu atau siapapun, walaupun tengah bertatap muka sekalipun. Tapi aku ingin katakan ini, hanya sebagai pelampiasan agar unek-unek ini keluar. Aku memang cuek dan tertutup, kuakui, sifat dasarku ya begitu. Namun akan ada kalanya dimana seseorang yang cuek dan tertutup merasa luar biasa kesal dan tidak tahan memendam segala yang ada, bahkan tak mampu untuk tidak menghiraukannya.

Aku yakin kau pasti masih ingat tentang anggota tokoh kartun berwarna kuning yang ketiga, yang sebelumnya cukup dekat denganku. Bahkan mungkin bisa dibilang, dia yang paling dekat denganku. Tapi itu dulu, saat kami masih suka makan sayuran hijau itu. Setelah aku dan dia menjadi anggota tokoh kartun kuning ini, dia tidak lagi sedekat dulu denganku. Aku masih ingat saat aku cerita padamu lalu kau katakana bahwa kisahku ini sama dengan kisahmu dengan salah satu tetangga para pendosa. Setelah belakangan ini, aku jadi teringat raut wajahmu waktu itu, waktu 2 tahun yang lalu. Kau kelihatan sangat sedih, tapi sesedih apapun itu aku tidak bisa mengerti apa yang kau rasakan. Tapi kini aku sudah mengerti, sangat mengerti, setelah aku juga telah mengalaminya. Perasaan dimana sahabat terdekatku, yang dulu paling mengerti aku, dan mengikrarkan pada semua orang bahwa akulah teman baiknya, tiba-tiba berubah menjadi dingin padaku. Padaku, hanya padaku. Biarpun dia selalu katakan kalau dia yang sekarang memang dingin apalagi pada orang terdekatnya, tapi kenyataanya dia paling ramah pada sahabatnya yang sekarang. Itu sudah cukup membuktikan bahwa dia memiliki sifat yang sama dengan saudaraku. Apa kau tahu tentang saudaraku?

Aku memiliki saudara, sesungguhnya bukan benar-benar saudara. Dia keponakannya istri pamanku. Awalnya aku kenal baik dengannya, lalu tiba-tiba dia bertemu dengan teman yang jauh lebih baik dariku dan meninggalkanku. Itu sudah terjadi hampir sepuluh tahun yang lalu sampai aku melupakannya. Lalu hari ini aku mengalaminya kembali. Sudah 2 orang yang aku temui memiliki sifat seperti ini. Apakah karakter seperti ini masih ada lagi di permukaan bumi ini? Aku berharap tidak. Mungkin bagi orang-orang biasa dan orang-orang berkarakter seperti ini, sifat ini tidak seburuk wajah The Beast dalam cerita kartun klasik. Tapi bagiku, ini 100 kali lebih buruk dari The Beast. Aku bertanya dalam hati, tahukah mereka, yang bersifat seperti ini, bahwa sesungguhnya sifat mereka menjengkelkan?

Saat kau katakan padaku, “Dia tidak akan pernah kembali”, mengenai si tetangga para pendosa itu, aku hanya bisa katakan, “Ya sudah, jangan dipikirkan lagi”. Sekarang, aku tidak berdaya untuk laksanakan apa yang aku katakan sendiri pada 2 tahun yang lalu. Orang yang tidak pernah mengalaminya, tidak akan mengerti, bahkan aku akan dianggap aneh bila ceritakan pada mereka. Tapi aku yakin kau mengerti, karena kau pernah mengalaminya. Hei, teman, bolehkah beritahu aku berapa lama waktu yang kau perlukan untuk tidak terpikirkan lagi tentang si tetangga pendosa itu? Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Sesuai dengan motoku, aku akan membiarkannya mengalir saja. Tapi bagaimana supaya tidak terpikirkan lagi?

Your Friend,
(D.A.D)

Tuesday 9 September 2008

Tertawa Saja

Aku sungguh tak bisa mengerti mengapa pikiran orang lain terkadang sungguh sangat tidak bisa ditebak. Masih lebih baik kalau hanya tidak bisa ditebak saja, terkadang jalan pikiran orang lain sungguh bisa membuat orang bingung sampai mendekati gila. Kenapa itu harus terjadi?

Sebagai contoh, diriku. Aku tak mengerti kenapa mereka seolah mulai tertawakan aku. Aku punya teman baik yang sekarang jauh lebih dekat dengan orang lain dibanding denganku. Lalu apa salahnya? Itu haknya, dimana ia mungkin ingin mencari hal baru dalam kehidupannya. Sifat dan karakternya aku tahu persis, dan aku tak salahkan apapun tentang itu. Menurutku, itu sah-sah saja.

Tapi mereka terus-terusan bertanya padaku, sesungguhnya apa yang terjadi pada aku dan dia. Raut wajah seolah tak percaya dan merasa aku tengah menyembunyikan sesuatu terpancar dari wajah mereka saat aku katakan “tidak ada apa-apa kok..” Raut wajah itu membuat aku bertanya dalam hati, apa mereka sebegitu sintingnya sampai berpikir bahwa dua orang yang berteman baik harus selalu dekat sepanjang segala abad?

Awalnya, di saat yang bertanya padaku hanya satu orang dan itupun hanya sekali, aku biasa saja. Memang awalnya aku merasa aneh dengan keadaan itu, karena “sejoli”ku tidak begitu dekat lagi denganku. Tapi yang membuatku merasa tidak enak justru bukan rasa aneh itu, melainkan pertanyaan-pertanyaan gila dari orang-orang. Bahkan semakin lama semakin menjadi-jadi. Hari ini, seseorang bertanya padaku di saat aku berjalan-jalan mencari kesibukan karena merasa bosan. Dengan terang-terangan dia bertanya,”merasa dicuekin?”. Oh, tolong, aku sebelumnya tidak pernah berpikir begitu. Aku hanya berpikir kalau duniaku dan dunia mereka mungkin berbeda, maka dari itu aku tidak bisa terlibat dalam perbincangan mereka, dan tak pernah terpikirkan olehku kalau mereka “cuekin” aku. Ketika pertanyaan itu terlontarkan, aku ingin sekali menjawab seperti yang aku pikirkan dalam hati, seolah ingin memberitahu dunia kalau aku adalah pribadi yang berpikir positif. Tapi apa daya, aku terlalu tertutup, mungkin. Selalu tak sanggup katakan apa yang dipikirkan. Mulutku bereaksi lebih cepat dibanding otakku. Jurus senyumkulah yang keluar. Bayangkan saja, pertanyaan itu tak ku jawab. Hanya ku sikapi dengan senyum.

Ya, aku memang masih terus bertanya dalam hati, kenapa mereka sangat gemar tanyakan itu padaku. Aku tak tahu apa mereka sedang perhatikan aku, kasihan padaku karena sekarang sendirian sedangkan teman baikku arungi samuderanya sendiri (suatu keprihatinan yang tidak penting sesungguhnya, karena aku tak pernah berpikir begitu), atau mereka sedang tertawakan aku. Ya terserah. Apapun itu. Kalau kasihan ya sudah, terima kasih untuk kalian semua, tapi itu tak perlu karena aku tak pernah berpikir senegatif itu terhadap sahabatku. Kalau memang hanya ingin tertawakan aku saja, ya tertawa saja.

Monday 8 September 2008

Permainan Sang Waktu (lagi)

Waktu kembali permainkan diriku dengan seenak hatinya. Bayangkan saja, kemarin ia buat aku tak terkontrol karena aku baru menyadari betapa ia sangat penting dalam menentukan segalanya. Ia seolah memberitahuku bahwa waktuku untuk punya seorang teman baik yang benar-benar dekat denganku telah habis. Lalu temanku itu, meskipun masih teman baikku, tapi ia tak begitu dekat lagi padaku. "Cukup", itu yang aku katakan pada sang waktu. "ya, ya, sudah tahu. habis ya habis saja, toh dia selamanya teman baikku." Begitu kataku. Aku katakan seperti itu supaya dia berhenti. Apa-apan dia, seenaknya saja mengatur-ngatur hidupku. Lalu kemarin lagi-lagi sang waktu permainkan aku. Tidak hanya permainkan aku, juga buat seluruh dunia Tri Ratna dan Tarsisius I terguncang, buat keluarga Tjayaindera menangis. Ya, ya, sang waktu lagi, atur segalanya. 4 September 2008, temanku yang mungkin tak begitu dekat denganku dulu, hanya sebatas teman curhat, Beverly Tjayaindera, seharusnya dengan cerianya melewati hari ulang tahunnya yang ke-18, selayaknya aku yang mendapatkan hari ulang thaun yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya pada tahun ini. Namun, ia harus melewatinya di rumah sakit. Hasil rontgennya mengatakan dia terkena tumor otak. Ketika ku ketahui hal itu, aku sudah mulai marah pada sang waktu, "lagi-lagi dia berulah", kataku. Lalu tidak tanggung-tanggungnya dia mengerjai hidup manusia, sang waktu memberitahu dunia pada 7 September 2008, bahwa temanku, Beverly Tjayaindera, meninggal karena tumor otak yang dideritanya. Lalu aku? Aku hanya bisa lemas tak percaya mendengar hal itu, setelah beberapa jam yang lalu aku diberitahukan bahwa dia sudah mulai menggerakan tangannya. Kenapa lagi sih, sang waktu bermain dengan seenak hatinya? Hanya 18 tahun 3 hari saja hidupnya, kurun waktu yang cukup pendek untuk hidup sesungguhnya. Namun apa yang bisa diperbuat lagi. Sang waktu hendaki seperti itu. Baiklah, karena memang tidak akan pernah bisa apa-apa lagi. Aku, juga teman-temanku, semua orang yang menyayanginya hanya bisa mengelah pada waktu, dan merelakannya.

Bevy, Selamat Jalan....

Thursday 4 September 2008

Andai Kau Tahu

dalam puisiku aku menulis
dalam lirik laguku aku nyanyikan
dalam tutur kataku aku ucapkan
tapi tetap saja hati bergejolak

kelak bagaimana jadinya hariku?
tanpa rasa itu
rasa persahabatan yang mendalam
yang kini perlahan telah menjauh

dia terlihat tak menyukaiku
setelah dulu dia baik padaku
kenapa?
waktukah yang meminta?
atau hatinya telah berubah?

dulu aku pernah hidup dalam khayalan
teman khayalan
cinta khyalan
senyum khyalan
setelah itu aku temukan cintaku
juga temanku
semuanya sangat nyata

namun kini hilang lagi
setelah cintaku hilang tinggalkan luka
kini temanpun menjauh
seolah memaksaku agar tetap hidup dalam khyalan

aku miliki yang lain, bila kau ingin tahu
aku punya banyak teman baik
banyak candaan untuk aku tertawa
tapi tetap saja, kau salah satu yang utama
dan kehilangan satu teman utama itu menyakitkan

aku tahu kau terbiasa dengan bersikap begitu
tapi mestinya kau tahu
rasanya bila jadi aku
dari kegelapan datang ke tempat bercahaya
kemudian terpaksa kembali ke kegelapan lagi