Thursday 15 January 2009

Pernah Datang Lagi

Sangat banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita mengerti. Terkadang, orang di sekeliling kita membuat kita bingung dan heran kenapa dia begitu, karena sesungguhnya alam pikiran orang berbeda-beda. Maka dari itu, manusia yang satu tidak bisa mengerti pikiran manusia yang lainnya.

Seperti aku yang tidak bisa memahami pikiran sesorang. Dia adalah seseorang yang muncul di saat kegelapan dalam hidupku semakin menguat, sebagai seorang pangeran berkuda putih. Dia muncul, seolah-olah tulus. Dekati aku, katakan segala yang indah, dan meyakinkan aku akan ketulusannya. Lalu aku mempercayainya, tanpa bisa melihat kejelakannya. Perlahan-lahan barulah aku menyadari bahwa dia adalah orang yang sangat pandai memandang rendah orang lain, menganggap dirinya tinggi, dan selalu merasa dirinya benar dan harus selalu menang. Lalu karena dia pikir dirinya sangat hebat, sangat tinggi, dia berpikir kalau dia bisa seenaknya dalam memiliki cinta.

Aku, yang kalau terlanjur mencintai seseorang akan mencintai dengan sepenuh hati, pernah terlanjur mencintainya. Selama 7 bulan dia tunjukkan ketulusan luar biasa. Sampai akhirnya, semua sifat jeleknya mulai keluar. Dia mulai marah-marah karena aku membalas pesan singkatnya dengan sangat singkat, dia marah kalau aku bersikap dingin, padahal sama sekali dia tidak tahu kalau dingin adalah sikap yang selalu aku tunjukkan pada lawan jenis, tidak peduli dia adalah pacarku, ayahku, kakekku, atau apapun itu. Setelah berpisah, dia katakan masih ingin berteman, tapi seringkali kami bertengkar karena dia menganggap dirinya terlalu tinggi dan harus disembah. Waktu itu, pikiranku masih belum terbuka, masih sangat menyayanginya sesungguhnya. Bahkan pada saat dia katakan bahwa dia menyukai temanku, dan ingin aku membantunya, padahal dia tahu jelas aku masih ada perasaan padanya, aku tetap membantunya. Lalu tidak sampai dua minggu dia katakan dia menyukai temanku yang lain lagi. Lalu aku bantu lagi (mungkin semua orang akan menganggap orang gila ini benar-benar bodoh). Sampai akhirnya semua yang dikejarnya tak didapatnya, dia kembali katakan padaku kalau dia sesungguhnya masih sangat menyayangiku. Mulailah aku sadar, dia seperti menganggapku seperti tong sampah. Sejak saat itu, perlahan-lahan, aku terus menemukan kejelekannya yang membuatku “ilfil”.

Tidak berapa lama sebelum ini, dia mencariku lagi. Berkata bahwa masih memikirkanku. Lalu berkata pada temanku mengenai hal itu, agar temanku membujukku untuk mau menerimanya lagi. Tapi maaf saja, aku sudah bukan gadis bodoh pada waktu itu lagi. Aku yang sekarang, yang telah semakin dingin, tidak akan pernah mau kembali lagi padanya. Berikut ini adalah lagu yang mengisahkan isi hatiku yang sangat ingin aku katakan padanya.

2 Yue 30 Hao Jian - Fahrenheit

dian hua na tou chuan lai ni de wen hou
(telepon berdering, menunjukkan pesan darimu)
tai du ai mei shuo ni huai nian wo de wen rou
(dengan lembut kau katakan kau rindu pada kelembutanku)
na shi hou duo shao ci ni yi tong yang li you
(pada waktu itu, telah berapa kali kau menggunakan alasan yang sama)
yue wo dao wai mian man you
(untuk mengajakku keluar)


hao jiu bu jian shuo yao he wo xu jiu
(sudah lama tak mendengar kau ingin bersua denganku)
jiu yue zai qu nian fen shou na ge jie tou
(kau mengajakku pergi ke jalan dimana kita berpisah tahun lalu)
zhe shi hou ni de xiang fa dao di shen me nian tou
(pada waktu ini, sesungguhnya apa yang ada dalam benakmu?)
shi yao wo jie shou hai shi xiao zhe lei liu
(ingin aku menerimanya, atau tersenyum sambil berlinangan air mata)

jiu yue hao er yue san shi hao jian
(maka marilah kita bertemu pada tanggal 30 Februari )
lai kan wo bei ni zhong shang zhi hou shi ru he fu yuan
(kau akan lihat bagaimana aku sembuh dari luka yang telah kau berikan itu)
rang wo men er yue san shi hao jian
(biarlah kita bertemu pada tanggal 30 Februari)
jiu ru ni suo yuan ru guo zhen de you na me yi tian
(semuanya terserah padamu bila memang ada hari itu)
fou zi qi ta shi jian wu li hui gu cong qian
(mungkin saja waktu yang lainnya tidak akan bisa kembali pada masa yang lalu)
qing rang wo ci di he ni hua qing jie xian
(maka persilahkanlah aku merencanakan siswa waktu yang lainnya)

yong jing ban fa yao ba guo qu shan diao
(aku terus memikirkan cara bagaimana menghilangkan masa lalu)
hai you yi dian ai ni cha dian bei ni dong yao
(masih ada sedikit perasaan padamu membuatku hampir tergoyahkan)
xin zai tiao zhe yi qie leng bu fang de da rao
(jantung terus berdegup, semua ini benar-benar gangguan untukku)
hai hao mei luan le chen jiao
(untungnya, tak mengacaukan segalanya)

hui yi hai quan zhe yi bi cai gou xiao
(dalam kenangan masih ada hutang yang harus dibayar)
hen bao qian shang kou yi ran guo zhe shi gao
(maaf sekali, luka itu tiba-tiba terbuka lagi)
xiang bu dao bu gan huan xiang wo men zai ci yu dao
(tak terpikirkan, tak berani memikirkan di saat kita kembali bertemu)
yao zhen me yong bao cai neng biao shi you hao
(harus bagaimana, agar bisa menunjukkan sikap berteman yang baik)


yuan lai shi wo bu xiang hua xia ju hao
(ternyata akulah yang memang tidak mau menyisakan tanda)
yuan lai bao fu shou zai xin li bu xiang diu diao
(ternyata semuanya aku simpan dalam hati dan tak ingin ku buang)
wo zhi dao bu guan zi ji duo dao tian ya hai jiao
(aku tahu, tidak peduli sampai mana aku bersembunyi)
zhe ge shi jie na me xiao zhong hui yu dao
(dunia ini sangatlah kecil, suatu hari pasti bisa bertemu)

Berhenti Bicara

Aku tak tahu apa memang ada yang salah pada diriku, atau memang sebenarnya berbicara adalah hal yang salah di dunia ini. Namun yang bisa dipastikan adalah, mulai hari ini, berbicara sudah bukan sesuatu yang bisa aku anggap hal yang baik lagi.

Aku ini seorang perempuan yang sebenarnya sangat suka bicara. Aku bawel, aku suka bercerita apa saja kepada orang yang sangat dekat denganku (menurutku). Meskipun sesungguhnya aku jarang menyampaikan apa isi perasaanku pada siapapun, meskipun yang ku ceritakan itu tidak penting, namun aku tetap suka bicara. Kesukaanku pada berbicara membuatku bisa merasa dekat dengan orang lain, apalagi keluargaku.

Jangan katakana aku aneh, kalau mulai hari ini aku tidak mau suka bicara lagi seperti dulu. Aku tak mau merasa sangat dekat pada siapapun lagi sekarang. Ketika aku merasa dekat kepada seseorang, aku akan merasa nyaman berbicara dengan orang itu, dan perlahan-lahan aku akan mengeluarkan apa yang selalu ada dipikiranku, apapun yang kurasakan. Tapi siapa sangka, bahwa ternyata kalau aku menceritakan kesukaanku, aku malah jadi tidak dimengerti.

Tidak tahu sesungguhnya aku memang gila, sampai tak ada yang bisa mengerti aku. Semua pikiran baik jadi buruk, semua yang positif menjadi negatif, semua yang menurutku benar jadi salah. Mungkin memang benar aku gila, jadi siapapun tak ada yang mengerti aku.

Tidak tahu apa mungkin karena aku sesungguhnya tidak memahami dunia, hingga alam pikiranku terbalik dari kenyataan yang sesungguhnya.

Tidak tahu, apa mungkin sebenarnya tidak ada yang mau mengerti aku. Mungkin aku dekat dengan mereka hanya karena ikatan darah. Sesungguhnya, kalau tak ada ikatakn apapun, mungkin aku hanya sebuah sampah.

Aku tidak mengerti, yang jelas, selalu saja aku yang tertutup ini, dipaksa untuk selalu tertutup.

Senin, 12 Januari 2009

Aku tidak pernah tahu kenapa hari ini harus selalu terulang, lagi dan lagi. Belakangan ini, karena Ibuku yang pergi ke luar kota selama 2 minggu, dan 2 minggu kemudian aku pergi ke luar negeri, membuat aku punya banyak waktu untuk bersama dengan kakakku. Semakin lama aku sangat yakin bahwa aku sangat dekat dengan kakakku, dan aku yakin dia pasti mendengarku. Karena itu, aku selalu memikirkan bagaimana supaya tidak menyusahkannya. Tapi ternyata segala yang kupikirkan salah. Yang aku pikir akan mengentengkannya malah menyusahkannya.

Aku katakan bahwa aku yang tadinya memang ingin sekali mengambil sebuah jurusan di perguruan tinggi nanti, namun tidak kesampaian, kembali diyakinkan kembali pada guruku yang semula meragukan keinginanku itu. Dia katakan, asal aku mengejarnya, aku akan menggapainya. Aku katakan pada kakakku. Dia diam, dan memang selalu begitu. Justru diamnyalah yang membuat semuanya terlambat. Saat aku tahu tak mungkin aku masuk musik, aku katakan aku ingin mengambil jurusan A. Dia diam. Lalu setelah semua tawaran beasiswa jurusan yang selama ini dia ingin aku mengambilnya telah tutup, baru dia berkata kalau dia tidak setuju. Lalu aku mencari lagi, terus memutar otakku. Lalu aku katakan aku mau mengambil B, dia diam. Lalu dia tidak setuju lagi. Aku semakin yakin kalau lama-lama, sampai di Gradnite nanti, ketika semua teman-teman telah tahu kemana tujuan mereka, aku hanya akan tertawa dan berkata “Aku tidak tahu”. Semakin aku takut, semakin kesal Ibu dan Kakakku. Lalu dengan kesal mereka katakan “Ambillah sesuka hatimu”, di saat pendaftaran untuk universitas yang aku inginkan telah tutup. Aku sudah putus asa, sampai akhirnya aku putuskan untuk mengikuti apa saja keinginan mereka. Lalu kembali aku dibuat goyah, dengan bertanya-tanya kalau aku mengikuti keinginan mereka yang sebenarnya susah itu, apakah aku bisa, dan mereka meragukan kemampuanku. Aku tak mengerti mengapa mereka begitu. Mungkin sebagai siswa terbodoh di sebuah sekolah favorit, aku pantas diragukan. Aku pikir, apa mungkin lebih baik aku mengikuti kata hatiku saja. Lalu aku diserang lagi. Aku lelah, sangat lelah. Aku tidak mau memikirkannya lagi.

“Apa sih yang kau pusingkan? Sudahlah, ambil saja apa yang aku katakan.” Kata kakakku.

“Mahal…” kataku, lalu aku langsung dicercanya. Dia bilang tidak suka aku berkata begitu.

Aku tidak mengerti, setiap kali aku katakan pikiranku, pasti keluargaku tidak mau mengerti. Merka menganggap aku adalah orang bodoh yang sedang bicara. Sehingga apa yang aku pikirkan, yang sebenernya memikirkan mereka, dicerca. Merka malah katakan kalau aku begini terus aku akan gila. Yang memang, mungkin aku punya kelainan jiwa yang tidak terlihat, namun sebagai keluarga mereka mengetahuinya. Tapi mereka juga sesungguhnya tidak boleh memarahi orang yang sedang memperhatikan mereka, meskipun orang itu gila.

Aku tahu keuangan keluargaku sulit. Ibuku selalu mengatakan padaku. Pinjam sana sini, mati-matian jual makanan untuk menuntupi kerugian dalam usaha Ayahku, dll. Kakakku yang berpenghasilan itu memang selalu direpotkan. Ibu selalu mengajarkan aku kalau aku harus menghormatinya, karena tanpa dia keluarga ini tidak tahu sudah jadi apa. Namun orang gila, bagi mereka tetap gila. Perkataanku, pikiranku, semua tak penting. Aku mati-matian mencari universitas paling murah sedunia agar bisa mnegurangi beban kakakku yang sudah sangat banyak itu. Aku hanya katakana kalau aku tidak mau merepotkan, aku akan cari yang murah. Lalu baik Kakakku maupun Ibuku yang menyuruhku jangan menambah bebanku, malah mengatakan kalau aku terlalu banyak berpikir, aku akan gila. Itu sama saja dengan menganggap aku sudah gila. Padahal aku tidak mengerti, apa sih yang gila dari sebuah rasa perhatian?

Karena itu, aku tidak akan pernah mau bicara lagi. Aku takkan pernah ceritakan apapun yang aku pikirkan lagi, sebelum aku benar-benar dikira gila karena terlalu banyak memikirkan orang lain. Sebelum sesuatu yang baik menjadi semakin buruk, lebih baik aku diam saja. Tetap bersembunyi dalam ketertutupan. Berhenti bicara.

Tuesday 6 January 2009

RM 100 di Queensbay Mall

Ini sangat kocak, semakin lama rasanya aku semakin dituntut untuk menyadari makna ajaran agama untuk kehidupan.

Jumat, 2 Januari 2009, aku yang berada di Pulau Pinang, Malaysia untuk menemani kakakku berobat menemui satu kejadian unik. Aku dan kakakku berjalan-jalan di Queensbay Mall. Makan malam kami lalui di Old Town Café. Selesai makan, kami berdua berjalan ke tempat kasir dan hendak membayar. Aku yang membantu kakak yang sedang kesibukan menelepon sambil mengeluarkan uang sedikitpun tak menyadari ada benda apapun di lantai, yang bisa aku pastikan, aku benar-benar melihat ke lantai di bawahku, tak ada apa-apa. Tak lama setelah selesai membayar, kami berdua yang hendak beranjak dari sana, melihat ada selembar RM 100 atau sekitar Rp 300.000,- yang terlipat dengan rapi.

“Itu punya siapa? Punyakukah?” tanya kakak.

“Tak tahu, atau mungkin punyaku? Itu pas di bawah kita.” Jawabku.

Lalu itu langsung kami ambil, dan ada perasaan di dalam hatiku, aku langsung membayangkan gong hitam di vihara tempat aku menghabiskan waktu setiap minggu, yang dulunya berfungsi untuk pindapatta (meminta sedekah), tepat setelah itu kakaku berkata.

“Tak apa-apalah kalau memang bukan uang kita, ambil saja dulu. Nanti kita danakan ke vihara saja. Oh, iya, kita belum ke Kwan Im Teng (Vihara Avalokitesvara yang pernah mau dibom saat penjajahan Jepang namun setelah dibom vihara itu baik-baik saja, tidak hancur sedikitpun). Kalau ke Pinang, harus ke sana. Wah, sepertinya uang ini memang datang untuk mengingatkan kita.

Kami akan pergi lusa, karena keesokan harinya kami akan pergi ke Hatyai, Thailand. Namun justru di tempat itulah, aku diajarkan betapa terbuktinya sebuah hukum Karma. Kakakku hendak membeli kaos seharga 260 Baht. Namun tanpa sadar, karena tidak terbiasa dengan uang Thailand, kakakku malah memberinya 2060 Baht. Lalu kami langsung meninggalkan took itu, berjalan sudha hampir lumayan jauh.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki yang mengejar kami, dan ada suar yang mengatakan, “Hey, uangnya terlalu banyak!”. Wah, kalau bukan kami terlalu beruntung, kami tidak akan begitu pas bertemu dengan penjual yang jujur dan mengembalikan uang kami. Tapi aku tahu, keberuntungan itu tidak akan datang begitu saja. Itu adalah sebuah Karma baik yang sedang berbuah. Mungkin karena kami berkeinginan mendanakan uang itu.

Dengan mendanakan uang sebesar RM 100, aku telah merasakan dua kali kaeberuntungan., Saat hendak pulang dengan pesawat Air Asia yang hanya menampung 15 kg baggage per orang itu, koper kami berdua telah sangat-sangat berat dan lebih dari nominal yang ditentukan. Lalu ada seorang pria yang berjalan kea rah kami dan berkata bahwa dia tidak mau memasukkan barangnya ke dalam baggage dan akhirnya memberikan bagian baggagenya ke kami. Sungguh benar-benar tangguh hukum karma itu! ^-^

Kisah Ananda dan Masa Kini

Bagi para umat Buddha, mungkin nama Ananda sudah tidak asing lagi. Ia adalah salah seorang dari murid Sang Buddha, yang terkenal paling setia karena pengabdiannya selama 25 tahun. Tapi, di balik kesetiaan itu, Ananda selalu mempunyai beban dalam hatinya, yaitu dirinya yang belum mencapai tingkat kesucian Arahat di saat semua murid-murid Sang Buddha telah mencapai tingkat kesucian tersebut.

Beban itu akhirnya membawakan dampak keputusasaan terhadap Ananda. Sampai suatu hari, ia berkata pada dirinya sendiri.

“Sudahlah, takkan pernah kupikirkan lagi. Mungkin karma baik dalam kehidupan ini belum bisa berbuah dan aku belum sepantasnya capai tingkat kesucian agung tersebut.”

Segera setelah itu, ia langsung mencapai tingkat kesucian yang selama ini diidam-idamkan tersebut.

Dari cerita itu, aku bisa memetik suatu pelajaran. Dalam kehidupan, memang banyak sekali hal-hal yang baik yang ingin sekali kita capai. Terkadang dengan adanya keinginan itu, kita menjadi semakin maju sehari demi sehari. Tapi tanpa disadari sesungguhnya keinginan itu kadang menghambat kita mencapai apa yang diharapkan. Seperti Ananda yang terus berusaha melakukan hal-hal baik dan melatih diri, untuk mencapai tingkat kesucian. Memang, itu membuat karma baiknya menumpuk bagaikan gunung Mount Everest, namun terus dan terus, tanpa Ananda sadari, dia telah menumpuk karma buruk juga, dengan terus mengidan-idamkan kesucian yang agung itu. Ketika akhirnya dia tersadari dan melepaskan semua keserakahannya itu, langsunglah ia mencapai apa yang selama ini diharapkan, tanpa rasa serakah berlebihan. Banyak sekali hal di dunia ini, yang apabila semakin kau menginginkannya ia akan terlihat semakin jauh. Sebaliknya, apabila kita terus berusaha tanpa berharap berlabihan, kita akan mendapatkan hasil yang lebih memuaskan.

Aku memang telah menghafal hampir semua cerita tentang murid-murid Sang Buddha sejak aku berusia 6 tahun, dan tahu betul mengenai nilai moral yang terdapat di dalamnya. Tapi ternyata aku sangat jarang memasukkan makna itu ke dalam kehidupanku. Kali ini aku ingin berkata kalau aku merasa aku yang telah masuk vihara, sering membantu dalam segala kegiatan vihara semenjak aku berusia sekitar tujuh tahunan, bahkan mungkin akan memliki nilai praktek untuk pelajaran Religiositas yang jauh lebih rendah dari teman-temanku yang tidak seserius aku mempelajari agama. Aku hanya tahu teori, tak tahu praktek. Dari dulu guru agama Buddha di SD dan SMP-ku selalu mengharapkan itu kepada murid-muridnya, namun mungkin aku baru menyadari sekarang. Dengan tersadarkan akan cerita ini, aku mengetahui, takkan ada gunanya berharap. Apapun yang sangat ingin ku lakukan, mungkin memang dengan usaha, tapi aku terlalu serakah mengidamkannya, maka itu semua hanya akan menjadi mimpi yang takkan pernah tewujud.

Berhenti Bermimpi

Belum pernah sebelumnya dalam hidupku, aku menemukan kesulitan yang begitu besarnya, bahkan jauh lebih sulit sekarang ini daripada menyuruhku berhenti bernyanyi (sebuah hal yang dibilang mustahil oleh keluargaku). Benar-benar sangat sulit, saat ini.

Aku punya mimpi, dari dulu sampai sekarang. Semula, mimpi itu masih terkontrol, namun sekarang semakin lama semakin tak terkontrol. Mungkin kalau orang yang membaca artikel ini akan merasa sedang membaca artikel yang ditulis oleh orang gila yang hanya bisa bermimpi.

Dari dulu, aku ingin sekali menjadi seorang, yah, artis, mungkin penyanyi, apapun itu, di dunia entertainment. Aku senang kalau benar-benar bisa begitu. Tapi aku tahu, itu sebuah hal yang sangat sangat sangat sulit untuk diwujudkan. Karena orang-orang seperti itu, harus memiliki penampilan luar biasa, daya tarik luar biasa, dan agaknya suara yang bagus. Sedikitpun aku tak miliki itu semua. Penampilanku biasa saja, lalu aku tak punya daya tarik. Suaraku mungkin bagi dunia entertainment hanyalah suara standard. Jadi, sangat tidak mungkin bagiku untuk memasuki dunia itu. Aku tahu, itu terlalu jauh. Tapi semakin besar aku semakin ingin. Baru-baru ini aku baru menyadari, bahwa aku tidak bisa menghentikan keinginan itu, keinginan yang takkan pernah tercapai.

Baru saja aku mendengar cerita tentang salah satu idolaku, Han Hong, seorang penyanyi China yang bersuara malaikat. Suaranya itu bisa menggetarkan dunia, takkan ada orang di dunia ini yang akan mengatakan “Aku tak suka suaranya”. Suaranya itu bisa membuat orang tercengang sesaat. Tapi, kenyataannya, dia tak punya penampilan yang luar biasa. Dia seorang penyanyi yang pendek, gemuk, berkacamata, wajahnya hampir mendekati laki-laki. Dulunya, orang-orang yang mendengarkan suaranya akan tercengang, lalu setelah ia selesai menyanyikan lagunya orang-orang hanya akan berkata bahwa dia mempunyai suara yang luar biasa, bagai seorang bidadari. Namun tak seorangpun akan menyarankannya mencoba menjadi artis, karena penampilannya yang agak sedikit buruk. Sampai akhirnya dia didatangkan ke sebuah wawancar. Di wawancara itu dia berkata bahwa dia takkan terlalu berharap. Memang dia sangat ingin menjadi seorang penyanyi, karena menyanyi adalah hidupnya (mungkin sama sepertiku), lalu dia bernyanyi di acara itu. Semua penontonnya tercengang. Tapi seperti biasa, hanya begitu saja, tak ada saran, tak ada tawaran. Lagi-lagi, karena penampilan. Namun semua berubah ketika acara ini disiarkan dan para pencari bakat tercengang mendengar suaranya. Lalu dicarilah ia, dan akhirnya terkenal seperti sekarang ini. Luar biasa. Cerita ini membuatku semakin ingin menjadi artis. Han Hong meyakinkan semua orang, bahwa penampilan bukan segalanya. Tapia pa day, dia hanya 1 orang beruntung dari seribu orang yang punya mimpi seperti itu. Aku, mungkin selamanya akan menjadi salah satu dari seribu orang itu.

Aku selalu yakinkan diriku, ketika pikiran itu datang. Tapi selalu saja, itu ternyata merupakan mimpi terbesar yang takkan pernah bisa aku lupakan sepanjang hidupku. Entah kapan aku bisa benar-benar menghentikan mimpi yang takkan pernah aku capai itu.

Ribut Sendiri

Aku tidak mengerti dan mungkin selamanya takkan pernah mengerti mengapa dunia ini begitu kompleks dan memiliki isi yang begitu majemuk. Saking majemuknya, sampai-sampai memunculkan keanehan yang membingungkan. Ya, inilah yang tengah terjadi pada temanku yang satu, dengan yang lainnya.

Senin, 22 Desember 2008, tiba-tiba HP-ku berbunyi sekitar pukul 21.00 WIB. Isinya mengatakan bahwa salah satu sahabatku, Valencia Ilona, tidak mendapat ijin dari Ibunya untuk pergi bersama kami (aku dan teman-temanku, yang sesungguhnya bertujuh) dikarenakan tujuan kami pergi bermain ice skating (sesungguhnya tujuan satu orang). Itu semua dikarenakan dia sedang sakit pilek dan tak mungkin kita memaksa seorang manusia normal yang sedang sakit masuk ke tempat dingin seperti itu. Aku sih, fine, aku tidak apa-apa. Yang penting semua berkumpul, mau pergi ke mana pun terserah. Tapi ternyata ada satu orang yang tidak senang. Dolly Deborah Adlian, ya dialah yang sekarang tengah diperdebatkan. Dia katakan, dia sakit hati. Jauh-jauh hari dia merencanakannya, namun tiba-tiba tidak jadi. Aku mengerti, sangat mengerti, di kala suatu keinginan besar tidak dituruti, hati pasti benar-benar merasa kesal. Apalagi untuk manusia sejenis dia, yang tidak mungkin tidak dituruti keinginannya, harus dituruti, atau akan terjadi perang dunia yang sangat dahsyat dan berlangsung bertahun-tahun lamanya. Tapi yang ingin aku tekankan adalah, mau sampai kapan dia harus jadi tuan putri yang bertahtakan kedudukan tinggi dan dituruti keinginannya? Akan ada kalanya dia harus turun tahta, hidup itu kan tidak selalu di atas. Kalau memang dalam sepanjang hidupnya dia tidak pernah mengenal kata “mengalah” aku rasa inilah saatnya. Mengapa dia tidak bisa katakan “Baiklah, kita ke tempat lain.”?

Bukan aku membela siapa-siapa, aku hanya ingin katakan pandanganku. Kalau saja satu orang berkata ingin, lalu 6 orang berkata tidak, apakah masih tetap harus dituruti? Aku sudah pernah mengalami ini sebelumnya, ketika orang yang pernah masuk ke dalam hidupku ternyata adalah orang setipe teman baikku yang satu ini. Jujur, aku bingung, kenapa sepanjang hidupku aku selalu bertemu orang-orang seperti ini?

Lalu kalau aku mau katakan isi hatiku, sungguh aku merasa tidak dihargai, sungguh. Kalau saja blog ini bukan hanya miliku, tapi juga milik Susanti Wijaya dan Ervina Nengsy, mereka MUNGKIN akan katakan hal yang sama. Kami bertiga adalah orang yang akan melanjutkan study abroad setelah menyelesaikan pendidikan di bangku SMA nanti, dan itu hanya tinggal kurang lebih setengah tahun lagi. Kami bersekolah di sekolah yang berbeda, punya kesibukan masing-masing dan sangat jarang bisa ada waktu untuk berkumpul. Susah-susah mencari waktu, lalu akhirnya kami bisa berkumpul (dan kami tidak tahu kapan bisa berkumpul lagi karena hari esok memang tidak ada yang tahu), ternyata malah harus diwarnai dengan ketidakenakan ini. Friska Marcella mencoba membujuk Dolly dengan membawa nama kami bertiga (khususnya Ervina, yang akan terlebih dahulu pergi). Katanya kami akan pergi, sebaiknya sekarang kalau bisa kumpul ya kumpul. Tapi malahan si sinting itu berkata bahwa dia akan pergi dengan temannya saja. Itu sebuah alasan. Dia tidak pernah benar-benar tulus mengajak kami pergi. Dia hanya ingin bermain Ice Skating, lalu karena kami ingin berkumpul dia menggunakan kesempatan ini. Siapapun yang tidak menurutinya akan dibilang “Pengkhianat” olehnya. Jadi sesungguhnya, sebodo amat dengan kami bertiga yang akan pergi, atau kebersamaan kami, semua tidak ada artinya kalau kami tidak menuruti keinginannya. Mungkin kalau tiba-tiba aku bilang aku akan pergi lalu aku tidak akan kembali lagi, tapi aku katakan aku tak mau bermain ice skating dengannya, dia akan langsung memalingkan muka dan tidak mau peduli aku ke ujung dunia atau terlontar dari Bima Sakti. Lalu dengan kesal pada satu orang dia akan memalingkan muka kepada semuanya, karena dialah Sang Ratu. Yang membuatku kecewa adalah, dari kami bertujuh, aku menganggapnya sebagai teman terbaikku, teman yang paling dekat denganku. Lalu dengan seenaknya dia tidak mau peduli perasaanku, hanya mempedulikan Ice Skatingnya lalu memalingkan muka dariku, hanya karena aku menasehatinya, mencoba mengajarinya bagaimana kehidupan itu sesungguhnya dan seberapa pentingnya arti kata “Mengalah” dalam menghadapi kehidupan. Dia kesal dengan Valencia, tapi aku juga kena getahnya. Semua, kami berenam, dia tak mau kenali, hanya karena seorang Valen katakan ia tak bisa ikut bermain Ice Skating.

Memang, semua ini tak bisa salahkan dia sepenuhnya. Tapi yang aku sesalkan adalah sifat kekanak-kanakkannya, yang sudah pasti akan menjerumuskan dia suatu hari nanti. Ketika aku katakan, “Kau ini kekanak-kanakkan sekali sih?”, dia hanya menjawab, “Aku memang begitu”. Ya, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Orang ini tidak tertolong lagi, dan aku menyerah untuk memberitahukannya tentang kebenaran, seperti aku menyerah saat menghadapi orang yang pernah masuk ke dalam kehidupanku. Orang ini terlalu High Profile, terlalu tinggi sampai aku tidak bisa mencapainya. Namun sangat disayangkan, perilakunya terlihat rendah, Low Class. I give up.

Aku sangat berharap dia membaca artikelku ini (meskipun kelihatannya itu tak mungkin). Mungkin dia akan semakin merasa dirinya adalah benar dan dia akan semakin melambung tinggi di langit dengan High Profile nya yang sesungguhnya Low Class. Tapi aku hanya ingin dia tahu, semua yang aku katakan di artikel ini adalah deskripsi yang paling benar tentang dirinya, bukan deskripsi yang subjektif.

Price For Difference, 12 Desember 2008

Mungkin bagiku, ini bukan pertama kalinya aku memiliki karya sendiri. Tapi bagi orang lain, mungkin ini sesuatu yang mengejutkan, karena ternyata seorang Indira Melik masih bisa mempunyai sesuatu yang bisa dibanggakan.

12 Desember 2008, kami mengikuti pembinaan mengenai Human Rights. Aku dimasukkan ke dalam kelompok pembinaan mengenai Sexuality. Di sini, kami membicarakan mengenai para kelompok Lesbian dan Gay, lalu tentang undang-undang yang mematikan hak wanita, dan pelecehan seksual terhadap wanita secara tak langsung. Aku menaruh perhatian lebih terhadap kaum lesbian dan gay, yang kebetulan merupakan tema Roll Play untuk kelompokku. Dari pembinaan itu, aku mendapati bahwa ternyata mereka dianggap aneh karena mereka berbeda. Dari situ aku menyadari, sebegitu pentingnya suatu perbedaan.

Lalu kami, untuk hari berikutnya, harus membuat sebuah Action Plan, mengenai Human Rights. Action Plan ini akan dilombakan. Karena kami benar-benar blank, akhirnya kami memutuskan akan membuat sebuah performance yang terdiri dari puisi dan lagu.

Puisi, ini bukan bagianku, ini bagian Oktarini, teman sekelompokku. Untuk lagu, aku tidak tahu, tiba-tiba saja ide gila melintas di benakku, lalu aku langsung berkata kepada teman-teman sekelompokku, “Aku akan membuatnya”.

Lalu aku mulai mengerjakannya, karangan lagu yang aku janjikan itu, aku mulai pada pukul 15. 30. Aku mulai dengan memencet-mencet tuts pianoku, lalu aku mulai menemukan nada-nada yang bisa dikatakan sebagai sebuah lagu. Setelah itu aku mulai memikirkan liriknya. Ya, pukul 16.45, laguku selesai. Tapi aku belum memikirkan judulnya, tak terpikirkan. Aku biarkan saja begitu. Lalu beritahu teman-temanku kalau lagu yang aku janjikan itu sudah jadi.

Aku tidak tahu akan bagaimana pendapat mereka tentang laguku itu. Aku tidak memikirkannya. Yang aku tahu, aku hanya ingin mengkritisi sesuatu dengan hal yang aku bisa.

Lalu sampailah di hari dimana kita harus menampilkan Action Plan kami. Setengah berdebar-debar, takut orang-orang langsung bisa mengetahui bahwa lagu itu adalah buatanku, saking anehnya lagu itu. Tapi aku tetap mempublikasikannya, karena memang harus dilakukan.

Tak ku sangka, ternyata tanggapan mereka berbeda. Mereka menyukainya, tampaknya. Aku senang. Senang karena bisa ada orang yang menyukai laguku, juga senang karena ternyata ada hal dalam diriku yang bisa membuatku sedikit bangga menjadi seorang Indira Melik, hahahahahahahahaha.

Price For Difference (Lyrics)

Kala dunia bersengketa
Akan apa yang tengah terjadi
Tak seorangpun dapat mengetahui
Apa sesungguhnya yang benar dan yang salah

Hanya karena satu yang sering terjadi
Ciptakan dampak perbedaan

Sesungguhnya tak dapat itu dikata salah
Demi sebuah perbedaan yang ‘kan hancurkan keadilan
Sadarilah kesempurnaan takkan pernah ada
Yang ada hanya pandangan manusia

Andai penghargaan adalah untuk setiap insan
Indah dunia ‘kan ada

Jakarta, 12 Desember 2008
-Indira Melik-