Tuesday 10 March 2009

Aku Hanya Ingin Didengar, Selebihnya Terserah Kalian, Tapi Jangan Potong Pembicaraanku!

Aku tidak tahu, tidak mengerti, dan mungkin akan selamanya tidak mengerti, dan juga tak mau mengerti sesungguhnya apa itu keadilan. Yang aku tahu dan aku mnegerti adalah bahwa di dunia ini kau takkan pernah bisa bertahan hidup kalau hanya memikirkan keadilan. Malah kalau terlalu memperdulikan keadilan, lama – lama malah akan tersingkirkan.

Selalu, selalu saja, aku memperjuangkan hakku untuk didengar. Aku tadinya mengira, seseorang yang sangat tertutup dan tidak pernah berani menyatakan apa yang dipikirkan dan dirasakannya harusnya mempunyai tempat istimewa untuk didengarkan ketika ia mulai bicara. Namun tampaknya aku salah. Justru karena pikiran itulah aku jadi terbuang ke kerumunan sampah. Tak ada yang mau mendengar, bahkan hal yang benar2 harus didengar pun takkan pernah didengar. Seseorang yang tertutup, yang tiba – tiba bicara hanya akan dipotong pembicaraannya lalu orang yang bertindak sebagai pendengar hanya akan berkata, “Aku tidak tahu, pokoknya aku tahunya begitu”. Ya, sangat bagus, hebat sekali.

Semakin lama, aku semakin tidak bisa membedakan, sosok yang bagaimana, yang hidup di dunia ini, yang menjadi sosok pribadi yang baik. Apakah orang yang selalu menceritakan isi hatinya dan didengar setiap orang? Atau bagaimana? Aku dulu mungkin adalah orang yang sangat terbuka, menceritakan apapun kepada siapapun. Namun setelah waktu berubah, akupun berubah. Segala yang terjadi menyadarkan aku kalau tidak akan pernah ada gunanya menjadi orang terbuka. Menceritakan segalanya kepada siapapun hanya akan membawa bencana bagi diri sendiri. Namun, saat ini, setelah aku menjadi tertutup, aku menyadari kalau jadi seorang yang tertutup juga tak ada gunanya. Hanya akan diinjak – injak. Saat kau bicara maka semua orang akan menganggap pembicaraanmu tidak penting, pembicaraanmu hanya mengarang saja, dan orang – orang akan anggap kau gila. Mungkin itulah yang dipikirkan semua orang padaku sekarang. Terutama keluargaku. Memang, aku pernah bertekad untuk tidak bicara apapun lagi pada siapapun, termasuk mereka. Tapi dalam situasi tertentu, aku memang harus bicara. Dan dipotong, dengan seenaknya saja. Mungkin pada situasi tertentu, dimana aku melakukan kesalahan, haruslah aku diam. Tapi aku juga perlu menjelaskan sesuatu. Misalnya apabila kesalahan itu dikait – kaitkan pada kesalahan yang sama sekali tidak aku sentuh, namun mereka mengira aku menyentuhnya, mungkin salah lihat atau apa, tapi tetap saja aku tak boleh bicara. Mungkin karma burukku di kehidupan lampau sangat terlampau banyak, sehingga aku jadi buruk di mata semua orang di kehidupan ini.

Aku memang begini, tapi sedikitpun aku tidak gila. Keluargaku mungkin mengira aku ini tipe manusia sentimental yang menganggap dunia sebagai suatu hal yang menakutkan dan merasa diri sendiri adalah manusia paling kasihan di dunia, sehingga aku jadi begini. Makanya mungkin saja mereka menganggapku gila. Tapi tidak, kalau saja aku boleh katakan pada mereka. Semua ini juga karena alasan. Mereka bisa punya alasan dalam hal apa saja, tapi kenapa tak ingin tahu alasanku. Pelajaran yang luar biasa membuatku stress dan selalu pusing kepala, dan aku harus bertahan dalam kondisi ini selama tiga tahun (kalau lancar). Belum lagi tugas – tugas kelompok sekolah yang kerap kali harus aku sendiri yang memikul bebannya dan pusing sendiri karena teman – teman kelompokku yang sesungguhnya lebih pintar dari aku itu tinggal berkata, “Aku tidak bisa apa – apa.” Lalu meninggalkan tugas itu begitu saja. Belum lagi meladeni sejuta orang munafik yang di hadapanku selalu berkata, “Nilaiku jelek sekali” lalu membanding – bandingkan nilaiku dengan nilainya yang sesungguhnya lebih bagus dari nilaiku dan kemudian akan berlaku stress setengah mati, di hadapan orang yang jauh lebih bodoh darinya. Ada lagi saat diaman aku harus mengambil mata kuliah yang sesungguhnya tak benar – benar aku sukai. Itu hanya soal kecil mengenai sekolah yang kalau tidak aku pikirkan tidak akan jadi masalah. Belum lagi yang benar – benar masalah. Mempunyai beberapa teman yang tukang fitnah, lalu beberapa kali menjadi korban tukang fitnah tersebut. Itu berkali – kali, maka dari itu aku jadi sangat tidak suka saat ada orang yang mengatakan kesalahan yang sesungguhnya tidak aku perbuat. Tapi siapa yang mengerti. Kalau aku ceritakan ini semua kepada satu orang saja di dunia, aku akan benar – benar dikira gila.

Memang sangat sulit, bagiku, kalau dilihat – lihat. Aku tak punya orang tua yang tahu bahwa anaknya marah – marah disebabkan karena stress seperti orang tua dari temanku, si penggemar binatang kartun kuning kedua puluh sembilan. Aku juga tidak punya keluarga yang bisa mengerti dengan sedikit penjelasan dan penekanan mengenai apa yang aku inginkan seperti keluarga si penggemar binatang kuning ketiga puluh lima. Tidak, aku tak miliki semua itu. Yang aku miliki hanyalah keluarga yang berpikiran anak sekolah tidak mungkin stress (padahal mereka tidak sadar dimana mereka menyekolahkan anaknya) dan berpikiran kalau pandangan mereka selalu benar, tak pernah salah. Mereka juga berpikiran kalau penglihatan mereka selalu benar, tidak pernah salah, sehingga apa yang aku katakan, apabila berlawanan dari yang mereka lihat, itulah suatu kesalahan. Lalu keluargaku juga terlanjur menganggap aku manusia aneh yang berpikiran aneh, sehingga mereka selalu takut aku lama – lama jadi gila. Tapi maaf saja, AKU SANGAT NORMAL, SEDIKITPUN AKU TIDAK GILA.

Aku hanya berharap suatu hari nanti aku benar – benar bisa melihat sesuatu dengan benar. Maksudku, sesuatu dengan benar dan benar – benar benar di depan semua orang. Karena saat ini aku merasa aku punya cara pandang yang berbeda dari orang lain. Semoga saja suatu hari nanti aku bisa berpandangan sama dengan orang lain, sehingga tak perlu dianggap gila atau tidak normal lagi oleh orang – orang yang tidak tahu apa – apa itu.