Tuesday 11 November 2008

Tuan Putri, Bukan Tuan Putri

Mungkin tak pernah disebutkan dalam artikel-artikelku sebelumnya, bagaimana pribadiku yang sesungguhnya. Yah, bukan tidak mau, atau tidak terpikirkan, tapi karena memang aku tidak tahu sesungguhnya aku ini bagaimana.

Aku seorang anak perempuan yang bersekolah di sebuah sekolah perempuan, tempat dimana seseorang akan dilatih sebagai seorang perempuan yang utuh. Namun banyak hal yang terjadi di sini. Tidak selalu semua murid di sini adalah benar-benar perempuan. Ada yang kemayu, feminism, perempuan macho, sampai ke tomboy. Aku? Ini dia. Aku tidak tahu golongan mana diriku ini bisa dimasukkan.

Rambutku panjang dan wajahku seratus persen perempuan. Bahkan ada yang berkata kalau wajahku ini menunjukkan kalau aku adalah seorang perempuan yang lembut. Keinginan memendekkan rambut selalu aku pikirkan berulang kali. Lagi dan lagi, sampai akhirnya tak kulakukan karena takut tidak cocok. Yah, aku masih seperti perempuan biasa, yang menyukai kecantikan, apalagi untuk diri sendiri. Lalu aku juga menyenangi warna yang biasa dipakai anak perempuan, warna pink. Aku menyenangi pernak-pernik yang indah, selayaknya anak perempuan lain. Itu membuat aku di kalangan teman-teman sanggar tariku sempat menyebut aku sebagai salah satu perempuan terfeminim di sanggar itu. Apalagi setelah aku beranjak dewasa, karena ada kakakku, selera berpakaiankupun tidak terlalu jauh dari kata modis.

Tapi apa memang aku se-perempuan itu? Haha, jawabannya, tidak tahu. Setiap hari di sekolah, dengan seragam yang ukurannya sangat besar dan lengan kepanjangan, tampaknya aku sedikit “laki-laki”. Aku suka melipat sedikit lengan baju bagian atasku seperti preman. Langkah kakiku besar-besar dan aku tidak begitu bisa disuruh melangkah dengan perlahan, karena aku terbiasa berjalan cepat. Aku suka duduk dengan satu kaki diangkat ke atas, baik di sekolah maupun di rumah. Cara menulis yang terenak bagiku adalah satu tangan diletakkan di belakang (karena kebetulan aku duduk paling belakang). Cara makanku agak slengean dan cepat, tidak tahan makan lama-lama. Caraku menumpukan kaki lebih mirip laki-laki daripada perempuan. Aku kurang menyukai memakai parfum atau alat lain yang dipakai anak perempuan untuk kecantikan diri. Aku tidak akan memakainya kalau bukan karena tuntutan keadaan (pementasan tarian). Terkadang cara berpikirku agak seperti laki-laki juga.

Bukan hanya itu keanehan yang membuat aku tidak tahu sesungguhnya aku masuk golongan yang mana. Aku memang sedikit berjiwa laki-laki dan bersikap sedikit seperti laki-laki. Tapi aku akan berubah feminim selayaknya tuan putri apabila sedang berpergian dengan pakaianku yang sedikit modis (untuk perempuan). Aku akan berusaha menjaga cara makanku (meskipun tidak sepenuhnya) agar tidak slengean. Maskara, satu-satunya kosmetik yang aku senang memakainya, selalu aku pakai di kala tengah berubah menjadi tuan putri tersebut. Anting dan kalung yang berimage manis selalu tidak lupa aku kenakan. Sebisa mungkin aku memakai sepatu berhak agar kelihatan lebih feminism lagi. Itu bukan tuntutan, juga bukan dorongan. Tapi keinginan dari diri sendiri saat berpergian. Namun dalam keseharianku yang dominant, aku perempuan tomboy yang kasar, seperti anak laki-laki slengean.

Singkat kata aku ini seorang perempuan yang tomboy dalam kehidupan sehari-hari, tapi feminism pada saat tertentu. Jadi, aku tak selamanya pria, dan tak selamanya tuan putri.

No comments: