Saturday 29 November 2008

SENJA : Tiga Bulan Untuk Tiga Detik

Waktu. Ya, lagi-lagi dia pemeran utamanya. Aku sungguh tidak mengerti, mau sampai kapan waktu menjadi pemeran utama dalam setiap film di dunia. Dia benar-benar artis terkenal yang tidak akan pernah lapuk dimakan waktu. Saking tenarnya, dia kembali berulah. Biasanya akan membauat kesal. Sekarang ketenarannya itu membuat menggebrak meja sambil menangis dan tertawa karena menangis.

Selasa, 18 November 2009, hari ini pelajaran hanya sekitar 40 menit per jam pelajaran. Pelajaran terakhir di kelasku, XII IPA 3, adalah matematika, ulangan. Begitu semua menyelesaikan ulangannya, sang guru matematika yang baru saja terkilir kakinya itu mengijinkan kami pergi ke aula secepatnya.

Persiapkan segalanya dengan matang, karena hari ini hanya ada kita.


Itulah yang tertanam dalam hati setiap siswa XII IPA 3 saat itu, menurutku. Perayaan ekaristi yang akan diselenggarakan besok, penyelenggaranya adalah kelasku, yang bekerja sama dengan kelas XII Bahasa. Sehari sebelum misa, seperti biasa, akan diadakan latihan menyanyi. Tapi di hari itu hanya ada kami, sedangkan partner kami sedang diutus ke Goethe Haus untuk mengahrumkan nama baik sekolah. Latihan menyanyi siang itu, aku rasa cukup baik. Lancar. Lalu ketika bel menunjukkan bahwa sudah saatnya untuk menyelesaikan kegiatan sekolah hari itu, kami mulai bersiap-siap untuk misa besok. Makan siang terlebih dahulu menjadi kegiatan yang pertama kami lakukan.

J-A. Tadi Pak Hari marah-marah di kelas gua. Dia cerita katanya ada lagi yang ketahuan nyontek. Suster marah dan katanya besok kita bakal dikumpulin di aula lagi.
Saya. Oh. Lho, besok kan misa, Je?
J-A. Ia, habis misa katanya.

Seusai makan, aku langsung naik ke atas untuk mempersiapkan misa. Pada waktu itu juga, anak XII Bahasa kembali dan kami mulai mempersiapkan misa bersama-sama.

Dicoba ya, dicoba. Tunggu-tunggu, akan aku nyalakan.


Beberapa detik kemudian, setelah kipas angin dinyalakan, jatuhlah potongan kertas kecil-kecil yang memang telah kami persiapkan dari tiga bulan yang lalu. Semua bertepuk tangan dan senang melihat itu. Ya, itulah hal yang berbeda dari misa kami. Potongan-potongan kertas itu kami siapkan bersama dari sejak tiga bulan yang lalu. Ada yang memotong kertas kecil-kecil, ada yang sibuk mengumpulkan brosur untuk dipotong-potong, ada yang sibuk berteriak meminta teman-teman lain membawa puncher yang bisa digunakan, ada yang mengumpulkan kotak, semua demi hal yang berbeda ini. Aku sendiri mungkin telah menjadi tukang menggunting kertas yang expert dan mungkin bisa segera menjadi tukang kebun karena pekerjaan selama tiga bulan ini.

Menjelang sore, latihan misa kami hampir selesai. Aku mulai menyadari sesuatu yang tidak biasanya. Aku selalu ikut serta dalam setiap lat misa kelas manapun, dan justru di hari dimana kelaskulah penyelenggaranya, pemandangan ini tidak ada. Aku hanya melihat wali kelasku bersama dengan wali kelas XII Bahasa, sibuk membimbing jalannya latihan misa tersebut. Sampai pada evaluasi, tetap saja hanya itu yang kulihat. Aku tidak melihat dua orang guru religiositasku, yang sepengetahuanku selalu ada dalam setiap latihan misa. Mereka berdua kali ini tidak ada, bahkan sehelai rambut pun tak kulihat.

Belakangan, aku baru mengetahui bahwa dua orang guruku itu ditugaskan oleh sekolah mengikuti pelatihan guru agama. Ya, kebetulan sekali, pikirku hanya seperti itu.

Rabu, 19 November 2009. Ini hari yang kutunggu-tunggu selama bersekolah di SMA Santa Ursula. Misa kelasku yang dipersiapkan dengan baik menurutku, dengan visualisai menkjubkan dari teman-temanku, dekorasi yang cukup lucu dan menarik, dan hal-hal lainnya. Ini juga sebenarnya kali pertama dimana aku benar-benar mengetahui dan menguasai lagu misa dari beberapa hari sebelumnya, karena aku seksi musiknya. Lalu aku juga menanti-nanti ekspresi teman-teman dan adik-adik kelasku ketika melihat closing yang telah direncanakan ketua dekor kelasku, dari jauh-jauh hari sebelumnya.

Semua berjalan lancar ketika misa. Visualisasi mendapat sambutan meriah dari para penonton.
Ini awal yang baik
. Dalam hatiku, tetap saja berpikir seperti itu.

Misa telah sampai pada waktu menyanyikan lagu penutupan. Aku sungguh menunggu momen ini sampai akhirnya ketika lagu penutupan itu habis dan Suster langsung melangkah masuk ke dalam aula. Aku baru teringat pada kata-kata teman baikku sehari sebelumnya, bahwa suster akan bicara di aula hari ini. Dia akan marah-marah. Tapi J-A salah, yang dikatakan Pak Hari tidak seratus persen benar. Suster bukan akan bicara pada kami pada saat misa sudah selesai. Tapi beliau bicara pada saat misa baru setengah selesai dan membuat misa XII IPA 3 – XII Bahasa angkatan tahun 2008-2009 tidak akan pernah mencapai penutupannya. Misa itu belum selesai, tidak selesai, dan tidak akan pernah selesai.

Semua anak kembali ke kelas, begitu juga yang kelas penyelenggara, sekarang!
Kata Suster.

Aku, Tessa, dan Andin, yang dari saat misa berlangsung tadi terus duduk berdekatan, langsung seketika memancarkan aura kekecewaan yang besar. Kami tidak bicara satu sama lain, tapi dalam kebisuan, kami tahu satu sama lain, kami kecewa, dan bukan hanya kami bertiga. Semuanya, 59 siswa dari kelas XII IPA 3 – XII Bahasa, seluruhnya kecewa.

Aku yang terakhir meninggalkan aula saat itu. Aku tak rela meninggalkannya, sesungguhnya. Tapi ada berbagai hal di dunia yang tak bisa terlaksana hanya dari kata mau dan tidak mau. Dengan berat aku keluar. Aku sempat ditanya beberapa anak kelas XII IPA 1 yang segera mengetahui kekecewaan kami.

Indira, emang ada apa lagi sih?
. Aku sampai tak bisa ingat lagi siapa yang bertanya begitu padaku. Aku tak sanggup bicara apa-apa. Rasanya ingin aku diam dan tinggalkan. Lalu akhirnya aku hanya bisa menjawabnya dengan kata
Gua sakit hati banget
dan pergi meninggalkannya. Aku langsung mengejar Dita dan Stella, yang berada tidak jauh di depanku. Tapi aku hanya sanggup memanggil nama Dita, lalu tak bisa ku teruskan lagi. Beberapa detik kemudian Stella yang bicara.

Gua mau nangis rasanya.
Katanya, dan segera setelah itu, aku dan Dita langsung melihat butir-butir air mata jatuh ke pipi Stella.

Kami bertiga berjalan ke kelas. Di sana ternyata belum begitu banyak orang. Segera setelah kami sampai semua datang. Ingrid, yang masuk ke kelas sudah bercucuran air mata, beserta teman-temannya, yang juga marah sampai mengeluarkan air mata. Semua menangis. Menangisi suatu kerja keras selama 3 bulan yang berakhir begitu saja, sia-sia begitu saja, lalu juga menangisi mengapa momen yang seharusnya menjadi kenangan terindah ketika kita di masa SMA harus berakhir begitu saja, malahan dengan penuh kekecewaan.

Wali kelas kami, Pak Arif Sartono, hanya bisa diam melihat kejadian dimana hampir seluruh anak kelasnya menangis dan marah-marah karena kekecewaan.

Aku, yang biasanya sangat sulit untuk menangis, lebih tepatnya, tidak suka menangis di depan orang lain, dengan mudahnya menitikkan air mata pada saat itu. Awalnya aku hanya menangis biasa, menangis kecewa. Lalu ketika Suster datang dan mengatakan suatu hal yang membuat kami semua sakit hati, air mataku itu berubah, dari sebuah air mata kekecewaan menjadi air mata kemarahan. Aku sampai tidak bisa mengntrol diriku sendiri. Aku menggebrak meja, memukul-mukulnya berkali-kali, sungguh aku benar-benar tidak bisa mengontrol diri seperti itu. Aku, yang mungkin memang mempunyai sifat dasar pemarah, hari itu benar-benar mengeluarkan segala sifat yang aku kubur dalam-dalam di Santa Ursula. Seumur hidupku, mungkin itu adalah kemarahanku yang terbesar yang aku perlihatkan kepada orang lain. Dengan begitu cepat, semua bagaikan film yang diputar kembali di otakku, seperti peran Arron Yan dalam Pi Li MIT yang akan memulai putaran sebuah film di otaknya ketika penyakitnya kambuh. Film itu dimulai ketika anak kelas XII Bahasa mulai masuk ke kelasku pada jam perwalian, lalu Puput dan Quincy mulai menuliskan konsep kelas masing-masing di papan tulis, yang ternyata, secara tak disengaja, telah memiliki konsep yang mirip. Lalu film itu skip ke saat dimana Dhanika menjelaskan di depan kelas mengenai konsep dekor briliantnya, beserta closing memukau yang sangat kami nantikan. Film berlanjut ke masa dimana saat jam kosong, istirahat, Kembang Gula, kami semua terus-terusan memotong-motong kertas-kertas itu. Terlihat jelas dalam film itu, gambaran kejadian pada saat Bertha mengajak aku dan Anas memotong-motong kertas itu saat pulang sekolah. Film terus berputar, sampai ke hari H-1, di saat semua tampak begitu senang ketika rencana yang dibuat selama 3 bulan itu bisa dijalankan dengan lancar. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya, bahwa akhir dari film itu malah seperti ini.

Namun, yang ingin aku katakan adalah, cerita ini adalah sebuah cerita mengecewakan yang happy ending. Aku mendapatkan berbagai makna dari kejadian ini.

Makna yang pertama adalah ternyata kekonyolan seseorang yang kesehariannya dianggap tak berguna, akan sangat berguna di saat seperti ini. Yang aku maksudkan adalah guru wali kelasku, Pak Arif. Beliau yang kesehariannya kalau sedang menjelaskan pelajaran fisika yang sesungguhnya ilmu pasti bisa lari ke sejarah, atau lari ke sebuah cerita konyol yang akan membuat orang tertawa bukan karena ceritanya, namun kekonyolan beliau, hari itu menjadi penghibur besar bagi kami. Saat semua sedang sedih, beliau yang dari tadi akhirnya mengeluarkan suara.

Selama saya 20 tahun berada di sini, memang sudah dua kali kejadian seperti ini terjadi. Yang pertama masalah nilai, lalu yang kedua masalah misa, yaitu misa kalian. Kalau soal kejujuran yang dituntut Suster tersebut, kalau saya diminta pendapat, saya juga akan berkata kalau kejujuran itu penting. Seperti saya, saya seringa sekali dimarahi istri saya karena saya suka terlambat ke gereja…


Para pembaca, apakah ada yang menangkap maksudku? Ya, maksudku menghibur adalah kekonyolannya yang sesungguhnya tidak ada hubungan dengan topik, namun bisa mengahdirkan sedikit gelak tawa anak-anak yang sedang tenggelam dalam lautan kekecewaan.

Makna kedua adalah makna dimana kita harus bisa menghibur diri sendiri, karena memang tidak semua hal di dunia selalu berjalan dengan lancar. Aku tidak rela semua ini berakhir dengan kekecewaan. Aku tak henti-hentinya menyesali waktu yang telah pergi, yang tak akan pernah lagi menghadirkan momen yang pas untuk kami seperti ini lagi. Tapi seperti yang dikata Ibu Pandiangan, ini tidak akan selesai kalau kami tidak berdamai dengan diri kami sendiri. Setelah kejadian ini, aku mulai mengerti bagaimana perasaan seseorang ketika jerih payahnya tidak dihargai, dan kejadian ini membuatku mengetahui kalau aku jangan sampai membuat orang lain merasa seperti ini, jadi intinya, aku harus bisa menghargai orang lain.

Makna ketiga adalah kebersamaan. Belum pernah sebelumnya aku merasa begitu akrabnya dengan teman-teman di kelas XII IPA 3, kelasku yang “Baru”. Aku belum merasa begitu memiliki kelasku seperti yang aku rasakan di tahun keduaku, di kelas XI IPA 2. Tapi kejadian ini membuatku lebih mengenal teman-teman sekelasku, beserta anak-anak kelas XII Bahasa. Kebersamaan itu benar-benar aku rasakan khususnya pada saat akhirnya segala jerih payah kami yang sesungguhnya tidak rela diturunkan begitu saja akhirnya diturunkan. Kami bermain-main dengan potongan-potongan kertas itu. Melempar-lemparinya ke segala arah, ke siapapun, tidak peduli itu teman sekelas atau bukan, tidak peduli itu teman dekat atau bukan, yang ada dalam hatiku saat itu, atau mungkin hati kami semua, adalah keceriaan dalam kebersamaan yang mungkin takkan pernah terulang lagi.

Tidak ada pihak yang disalahkan dalam kejadian ini. Bahkan kalau kita kihat dalam segi positifnya, malah terlalu banyak kata terima kasih yang harus dilontarkan. Terima kasih kepada Pak Arif yang telah memberikan bimbingan dan hiburan yang sangat penting bagi kami, juga kepada Mam Yuli yang juga merupakan pembimbing misa kami, kepada Pak Mardi dan Bu Cecil yang sebenarnya juga merupakan pembimbing kami, kepada anggota Greenlite yang mau senantiasa berlatih setiap hari menjelang misa demi kelancaran misa kami, kepada om Alfa yang mau memberikan bimbingan terbaiknya kepada Greenlite sehingga mereka tampil dengan baik pada misa kami, kepada Ibu Pandiangan yang telah mengajarkan kami bagaimana menghadapi situasi seperti ini, kepada Ibu There dan Ibu Yustin yang bersedia jam pelajarannya diambil demi kami yang ingin menuntaskan apa yang belum tuntas, kepada Romo Noel yang mau menghadiri misa kami, kepada Suster Moekti yang mungkin bisa aku umpakan sebagai jelmaan Tuhan yang datang memberi cobaan kepada kami dan menyisakan makna mendalam yang tidak semua anak di SMA Santa Ursula bisa mendapatkannya, lalu yang terkhir dan yang paling special adalah ucapan terima kasih kepada semua teman-teman XII IPA 3 dan XII Bahasa. Semoga kejadian ini juga membawakan makna mendalam bagi kalian semua dan akan sangat berguna untuk bekal kita di masa depan. SEMANGAT TEMAN-TEMAN!!

3 comments:

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

Indira..
titip ini yah..
gw ga jd mskin blog krn isinya yg rada aneh..
:))


Beberapa minggu terakhir ini, aku banyak mengorbankan perasaan untuk tetap tekun mendekor demi misa kelas. Meski gelisah dan sakit hatiku (u know what I mean), namun dengan bantuan dari teman-temanku aku bisa melalui semuanya dengan baik. Hari Rabu, 19 November 2008 adalah hari misa kelasku. Aku memang menunggu-nunggu hari ini, namun pada awalnya aku mengira saat ini hanya akan menjadi kenangan indah yang bertahan sesaat saja. Ternyata dugaanku ini salah besar. Misa kelasku yang direncanakan dengan hebat, ternyata berkhir dengan super spektakuler, dan aku yakin aku tak akan lupa kejadian ini seumur hidupku.


Semuanya berjalan dengan lancar hingga sesaat setelah lagu penutup dinyanyikan. Dhanika sudah bersiap-siap untuk menyalakan kipas angin sehingga serpihan kertas yang diletakkan di sana jatuh bagaikan salju warna-warni. Namun, suster telah mendahului maju ke altar dan mulai mengomel panjang lebar tentang masalah mencontek. Ketika pada akhirnya suster menyuruh seluruh siswa kembali ke kelas, aku merasa kecewa karena closing kipas angin yang sudah kami persiapkan mati-matian itu gagal terlaksana. Namun, apa yang terjadi kemudian benar-benar di luar dugaanku. Aku tertegun menyaksikan 36 orang teman sekelasku menangis karena gagalnya closing kami itu. Yah, memang hanya 36 orang, karena aku sendiri tidak menangis. Aku sungguh tak punya alasan untuk menangis. Aku memperhatikan teman-temanku satu per satu, menenangkan mereka, dan duduk di antara mereka. Aku juga mendengarkan setiap seruan kemarahan yang mereka lontarkan. Setelah kulakukan semuanya itu, tetap saja aku tak menemukan satu pun alasan untuk menangis.


Entah siapa yang pertama kali berinisiatif memberitahu suster dan para guru mengenai hal ini, namun tak lama setelah kami menangis bersama di kelas, suster datang ke kelasku. Kukira ia hendak meminta maaf. Tapi ternyata ia malah memarahi kami dan mengatakan bahwa kami hanya menangisi sesuatu yang tidak ada artinya. Pada detik ini semua orang menangis lebih keras. Aku mendengarkan dan mendengarkan setiap perbincangan dan perdebatan antara teman-temanku dengan suster atau dengan guru yang hadir. Aku pun menyimpulkan bahwa ternyata sudut pandang suster berbeda 180° dengan sudut pandang kami. Suster punya kepentingan untuk menegakkan kembali degradasi moral yang terjadi di antara kami. Sementara kami punya kepentingan untuk menampilkan misa yang hebat, indah, dan berkesan. Aku merenung, peristiwa semacam ini juga telah puluhan kali terjadi antara aku dan mamaku di rumah. Perbedaan kepentingan, perbedaan sudut pandang yang tidak saling dikomunikasikan membawa perpecahan. Namun mengapa selalu kami (anak atau murid) yang menjadi korban dari orangtua atau guru atau suster? Mengapa yang muda selalu kalah? Kata papaku ini terjadi karena yang tua memimpin yang muda dan yang muda harus hormat dan patuh, dan tentu saja peraturan aneh ini berjalan mutlak satu arah, tak bisa dibolak-balik.


Aku akhirnya menangis juga, bukan karena gagalnya misa, tapi karena menyadari betapa menyedihkannya nasib kaum muda di bawah tekanan orang dewasa. Aku pun menambah satu poin lagi yang ingin kuubah kalau nanti aku menjadi orangtua, aku mau lebih menghormati anakku dengan segala pemikirannya yang mungkin terlalu tolol dan kekanak-kanakan. Jangan sampai peristiwa semacam ini berulang lagi pada generasi berikutnya.


Hari itu berakhir dengan indah. Memang bukan sebuah misa yang yang heboh dan luar biasa yang bisa kukenang, tapi sebuah misa yang sungguh sarat refleksi. Perjuangan kami, pengorbanan perasaanku, tak akan pernah sia-sia. Akan selalu ada hikmah di balik setiap kegagalan. Dan aku sangat setuju pada perkataan suster, “Misa kalian hari ini pasti lebih mengesankan daripada jika misa ini berjalan sebagaimana yang kalian inginkan semula.”