Wednesday 29 October 2008

Yang Ini, Yang Itu

Suatu masa yang pasti di mata orang-orang tak ada apa-apanya
Namun bagi diri ini terlalu ada apa-apa
Yang orang-orang pikir ini sesuatu yang kecil
Bagi hati ini, terlalu, terlampau besar

Hal itu terjadi
Di suatu waktu
Di suatu tempat
Tak ada apa-apanya, kata mereka
Tapi itu menyakitiku
Membuatku tenggelam dalam lautan bimbang

Lalu lagi-lagi ada yang terjadi
Di suatu waktu, yang lain
Di suatu tempat, yang sama
Hal itu ada di masa lalu
Lalu pergi meninggalkanku
Lalu datang kembali
Sekarang, di sini

Aku tak berani berharap
Tak berani bergembira, apalagi berbahagia
Karena hal yang dulu itu telah kembali
Hal yang menyenangkanku
Yang ku inginkan

Aku tak berani
Karena aku tak tahu
Mana sesungguhnya yang merupakan kenyataan
Mana sesungguhnya yang menjadi jawaban waktu

Bisa yang ini
Bisa yang itu
Takkan ada yang tahu apa yang diinginkan Sang Waktu

Namun tak apa
Apapun itu, tak apa

Bila San waktu benar-benar memilih yang ini
Aku akan senang
Bahagia
Menari-nari seolah sedang di surga
Lalu berterima kasih
Atas apa yang dijawabnya
Untukku

Tapi bila dia memilih yang itu
Aku tak akan kenapa-kenapa
Karena aku telah ketahui segalanya
semua jawaban dan alasan yang ada
Dengan demikian aku takkan sedih lagi
Karena rasa penasaran tak terhingga dalam hati
akibat perubahan masa

Aku tak akan kenapa-kenapa lagi sekarang
Aku akan baik-baik saja sekarang
Juga untuk seterusnya
Selamanya..

Sunday 19 October 2008

Geng Gila

Kamis, 2 Oktober 2008
Saya Wueitz! Wueitz! Ia! Giilllleeee cuy, jago bener! Ia! Ia! YAAAHHHHH, jato juga akhirnya!!! T.T
Zidane Nonton apa sih loe, kodir, seru amat kayaknya?
OJM Ia nih, kodir, ampe segitunya loe?
Saya Nonton aja sendiri, TV juga di depan mata loe kan? Ia! Waduh cek, kalo udah ketuaan nggak usah ikut deh, hahahahahaha!
Tiba-tiba datang sebuah suara yang dari tadi tak terdengar..
Valen Wuede!!! Wuede!!! Iaaaa!!! Yah jatoh deh kan!
Karena merasa ada yang mengikut, aku semakin seru..
Saya Aduh cek, pake baju panjang gitu gimana mau maennya coba!! Ampun deh saiaaaa…
Zidane Eh cakep yah cowoknya, haha, mirip Dius..
Semua
Neeehhh? YA NGGAK LHA, LOE UDAH GILA YA!!
Saya Udah2, ayo nonton lagi. Seru nih, dari tadi nggak ada yang bisa lewatin session ini!
Semua
IIIIAAAAAAA………… AAAARGGGHHHHH!
Valen Bener-bener nggak ada yang bisa lewat tuh, jurang kematian..
Semua Hahahahahahahahahahaha..
Dolly Adoeh, gua nggak nerti apa-apa nih.. T.T

Begitulah suasana yang terjadi di Jalan Angke Indah, rumah seorang gadis lebay bernama Ervina Nengsy yang lebih akrab dipanggil Zidane. Di hari itu, sedang berkumpul para anak-anak gila siswa SMP Tri Ratna yang satunya kini meneruskan sekolahnya di SMK Ketapang, lalu satu di SMAK 2 Penabur, dan satunya lagi di SMA Santa Ursula, lalu sisanya tetap meneruskan ilmunya di SMA Tri Ratna. Kami selalu memanfaatkan waktu liburan yang bagiku (siswi SMA Santa Ursula) dan mereka (siswi SMA Tri Ratna) yang jarang mendapatkan hari libur. Segala kegilaan terbesar di dunia tampak selalu melekat di hati masing-masing di kala para anak-anak gila seperti kami berkumpul bersama.

Sabtu, 18 Oktober 2008
Zidane Eh, ada yang makanannya belum dateng, bego. Itu si Indira. Parah loe, belum dapet makan udah nggak nafsu duluan!!
Friska Kodir, loe masih ada nafsu makan?
Saya Ya ada lha, gua mah mau loe ngapain juga gua bakal terus ada nafsu makan selama itu berhubungan dengan makanan, gratis pula! He9x..

Yah, itulah suasana di Solaria Gajah Mada Plaza ketika Vallencia Ilona merayakan ulang tahunnya yang ke-17 dan mentraktir kami semua (meskipun kurang satu orang, Dolly).

Dari dulu sampai sekarang tetap tidak berubah. Aku sampai sekarang belum berubah pandangan kalau teman terbaikku seumur hidup adalah mereka. Haha, siapa lagi kalau bukan mereka, teman yang selalu membuat tertawa di kala sedih dan membuat gila di kala senang. He9x..

Dolly si dodol lipet yang lemot bukan main dan sudah pasti tidak ada saingannya di dunia. Pikiran yang kadang kekanak-kanakan membuatnya lebih lemot dari yang terlemot dan kadang membuat orang bingung bagaimana cara menghadapinya.
Friska si bule jerman jenius yang semenjak rambutnya dibonding menjadi tidak terlalu bule lagi kelihatannya. Luarnya yang kelihatan pendiam dan lemah-lembut selalu membuat orang lain kaget setengah mati ketika dia berteriak dan bawel-bawel seperti yang selalu dia lakukan kalau berkumpul dengan kami.
Elizabeth si pohon yang selalu menjadi bahan tertawaan karena rambutnya yang kribo. Yang membuat orang selalu senang mengatainya adalah reaksinya yang selalu berubah-rubah ketika orang-orang mengatainya.
Zidane si Lebay sepanjang abad yang suka menceritakan hal-hal yang tidak biasanya diceritakan orang-orang dan mengocok perut setiap orang karena kekonyolannya.
Valencia si mateks yang hanya selalu “Iya” setiap saat. Dunianya masih terus hitam sebelum masuk SMA (pakai baju hitam terus).
Susanti seorang anak dari ahli akupuntur yang heboh setiap saat. Tidak peduli kapanpun itu, entah itu saat dia bicara, tertawa, tidur, bahkan menangis, akan selalu heboh, sekarang dan selama-lamanya.
Novita si tukang bisnis yang barang dagangannya bermacam-macam dan berganti-ganti setiap saat. Bisa dikatakan dia adalah si Miss CiPe (Cina Pelit) Tri Ratna. Namun si tukang bisnis ini akan berubah menjadi seseorang yang super berbeda ketika berhadapan dengan boneka lumba-lumba kesukaannya.
Ester yang juga pendiam dari luar lalu ternyata sangat bertolak belakang dari dirinya yang sesungguhnya.

Mereka-mereka inilah yang justru kegilaannya selalu menjadi penghibur di kala duka. Aku selalu senang kalau liburan tiba yang menandakan kalau aku bisa berkumpul dengan para anak-anak gila itu.

Friends Forever, teman-teman!! ^^

Saturday 4 October 2008

Nekad

Aku mungkin akan dikata semua orang sebagai manusia paling nekad. Mengambil jurusan musik dengan porsi didikan yang baru berjalan 3 bulan bukanlah hal yang biasa. Aku sangat nekad, menurut orang-orang.

Di kala seluruh universitas musik berisi orang-orang yang telah menyentuh musik sejak usia 6-7 tahun, di kala universitas itu berisi anak-anak yang telah mampu memainkan ribuan lagu dengan lancar, aku, seorang gadis yang belum bisa apa-apa, bahkan Ballade Pour Adeline pun belum bisa lancar ku mainkan dan Inochi No Namae pun masih ada 2 lembar dari pertitur yang belum bisa aku mainkan sama sekali, aku nekad mencari universitas yang mau menerima siswa tanpa ijazah dan hanya mengandalkan audisi. Haruskah aku meneruskan cita-cita yang kelihatannya mustahil itu? haruskah seseorang melepas impiannya yang sesungguhnya sudah tertanam sejak kecil namun tidak bisa dididik dari kecil karena tak punya biaya dan tak adanya persetujuan orang tua? Haruskah sebuah cita-cita yang di kata orang "mulia" itu kandas di tengah jalan hanya karena sesuatu yang bukan salahku?

Sungguh, apapun itu, aku benar-benra tidak rela melepasnya. Karena sesungguhnya, musik itu hidupku..

Friday 3 October 2008

Takkan terulang

Aku tidak mengerti mengapa semua begitu menyebalkan. Bukannya iri atau bagaimana, tapi jujur aku merasa ini tidak adil untukku. Kakaku terlahir di suasana keluarga yang sangat berkecukupan. Dia bisa dibilang bagaikan "Tuan Putri" yang tidak pernah hidup kekurangan. Ke sekolah diantar dengan mobil, makan makanan enak setiap hari sepuasnya, uang jajan yang selalu akan bisa ia tabung tanpa harus diambil kembali oleh orang tua yang telah memberi, menyukai ballet lalu dia akan bisa kursus ballet, menyukai piano lalu dia bisa belajar piano, dan seterusnya, dan seterusnya. Memang, glori itu hanya bisa didapatnya sampai usia kira-kira 10 tahun, tapi tetap saja, bekas-bekasnya masih ada. Setidaknya dia bisa melanjutkan kursus pianonya sampai tingkat 8 dan menghentikannya begitu saja karena melanjutkan kuliah di luar. Setidaknya dia adalah seorang penari ballet sampai kelas SMP. Setidaknya dia sekolah di sekolah ternama di Medan dengan biaya murah tanpa harus memohon pengurangan biaya. Semua asal mula kata setidaknya itu semata-mata hanya karena dia lahir pada tahun 1980 dan tinggal di Medan sampai usia 17 tahun.

Kalau aku lihat ke masa lalu, segalanya itu menjadi menyebalkan. Andaikan ayahku tidak bangkrut dan pindah ke Jakarta waktu aku usia 3 tahu, aku akan mendapat pendidikan yang sangat baik dari kecil tanpa harus memikirkan biaya karena sekolah di Medan itu tidak mahal biayanya biarpun di sekolah paling unggulan sekalipun. Lalu andaikan aku disana aku pasti akan seperti kakakku, dari usia 8 tahun sudah menyentuh musik. Aku juga bisa seperti dia, kursus ballet sejak tubuhnya masih lentur. Tapi aku?

Aku tinggal di Jakarta, karena tak punya uang aku hanya bisa sekolah di sebuah sekolah dekat rumahku yang uang sekolahnya hanya 30000 rupiah saat aku kelas 1 SD. Kesenangan terpendam karena bisa kursus bahasa inggris dan mandarin di usia 7 tahun muncul begitu saja karena aku mengira aku tidak seperti anak lain yang bisa kursus apapun sesuka hatinya. Aku mulai bergaul dengan teman-teman viharaku di usia itu, namun aku berbeda. Aku menumpang mobil pamanku di saat teman-temanku naik mobil pribadi ke vihara. Aku dengan kebetulan bisa kursus vokal karena ada orang baik yang menasehati ayahku untuk mengikutkan aku pada kursus itu berhubung aku sangat suka bernyanyi. 3 tahun aku memohon pada ibuku agar bisa kursus biola dan keinginan itu tercapai setelah aku kelas 2 SMP. Keinginan yang sudah lama sekali terus muncul dalam benakku, untuk kursus piano, setelah piano itu telah dipindahkan ke rumahku, namun orang tuaku hanya berkata "kursus piano itu mahal". Lalu di saat aku benar-benar menyadari apa yang menjadi mimpi dan cita-citaku, semua terlambat.

"Guru musik bagi orang cacat", itu cita-citaku yang sangat mulia bagi teman sekolahku, Debby. Namun untuk mencapai itu aku tak yakin aku bisa. Aku tidak ragu kalau aku punya kesabaran yang tiunggi dalam mengajari orang, terlebih lagi orang cacat. Tapi aku tidak tahu bisakah aku menjadi guru musik untuk mereka (orang-orang cacat), apdahal untuk mnegejarnya pun aku sudah terlambat. Aku harus kuliah jurusan musik. Tapi aku tidak bisa, tak ada perguruan tinggi yang mau mendengarkan permainanmu kalau kau bukan siswa yang telah tamat grade 8 ABRSM. Mereka tidak akan pernah percaya pada kemampuan seorang siswa yang hanya grade bawah, apalagi orang yang baru menyentuh kursus piano 2 bulan sepertiku.

Aku tidak diijinkan untuk kursus piano, maka dari itu kegemaranku pada piano hanya bisa ku salurkan dengan otodidak saja. Lalu saat kakakku mengetahui kalau aku sesungguhnya ingin kuliah major piano, dengan percaya diri dia katakan kalau aku harus mengejar, agar aku bisa kuliah. Awalnya, karena kakakku dulu juga pernah menggeluti bidang musik, aku percaya saja kalau aku bisa mengejarnya. Tapi sekarang aku mengetahui, seberapa giat aku mengejar itu, selama aku bukan siswa grade 8, aku akan terus kesulitan untuk mencapai cita-cita itu.

Kalau saja aku tidak ikuti kata-kata pamanku untuk sekolah di SMA Santa Ursula, dan kalau saja aku tidak mengikuti kata-kata ibuku untuk masuk jurusan IPA, lalu mengikuti kata hatiku untuk masuk jurusan Bahasa, aku pasti punya banyak waktu untuk mengejar semua itu, biarpun aku tetap tidak punya ijazah emas itu, tapi setidaknya aku bisa saja memperlihatkan permainanku yang bisa ku banggakan. Tapi waktuku tersita hanya untuk mempelajari hal yang tidak akan pernah berguna bagiku di masa depan nanti.

Aku terkadang berkata dalam hati. Ini tidak adil. Orang tua dan kakakku memaksaku harus bisa mengejar dan memperlihatkan pada mereka sebuah permainan piano yang bisa dikagumi. Tapi mereka jugalah yang melarangku masuk jurusan yang seharusnya lebih membantuku untuk mengejar impian itu. Ibuku hanya bisa memasang tampang prihatin saat orang-orang dari universitas manapun berkata tidak bisa padaku saat aku katakan aku belum pernah mengikuti ujian apapun. Kakakku hanya bisa berkata "Mengejar grade 6 dan 7 itu perlu 4 tahun, mana bisa hanya dalam waktu 5 bulan saja". Lalu ayahku hanya bisa berkata "Siapa suruh kau tidak mau kursus piano dari awal?"

Astaga..

Aku kesal..

Apa-apaan mereka..

Mereka yang melarangku untuk kursus. Mereka yang tidak mau aku kursus piano. Mereka yang mau aku mnegikuti kata-kata mereka. Tapi sekarang? Mereka salahkan aku kembali. Seolah-olah keterlambatanku belajar musik adalah salahku sendiri.

Tapi tetap saja aku tidak bisa katakan apa-apa. Tidak ada gunanya salahkan mereka. Semua tidak akan kembali. Tidak akan pernah kembali. Waktu tidak akan pernah terulang kembali. Takkan mungkin terulang kembali.