Friday 3 October 2008

Takkan terulang

Aku tidak mengerti mengapa semua begitu menyebalkan. Bukannya iri atau bagaimana, tapi jujur aku merasa ini tidak adil untukku. Kakaku terlahir di suasana keluarga yang sangat berkecukupan. Dia bisa dibilang bagaikan "Tuan Putri" yang tidak pernah hidup kekurangan. Ke sekolah diantar dengan mobil, makan makanan enak setiap hari sepuasnya, uang jajan yang selalu akan bisa ia tabung tanpa harus diambil kembali oleh orang tua yang telah memberi, menyukai ballet lalu dia akan bisa kursus ballet, menyukai piano lalu dia bisa belajar piano, dan seterusnya, dan seterusnya. Memang, glori itu hanya bisa didapatnya sampai usia kira-kira 10 tahun, tapi tetap saja, bekas-bekasnya masih ada. Setidaknya dia bisa melanjutkan kursus pianonya sampai tingkat 8 dan menghentikannya begitu saja karena melanjutkan kuliah di luar. Setidaknya dia adalah seorang penari ballet sampai kelas SMP. Setidaknya dia sekolah di sekolah ternama di Medan dengan biaya murah tanpa harus memohon pengurangan biaya. Semua asal mula kata setidaknya itu semata-mata hanya karena dia lahir pada tahun 1980 dan tinggal di Medan sampai usia 17 tahun.

Kalau aku lihat ke masa lalu, segalanya itu menjadi menyebalkan. Andaikan ayahku tidak bangkrut dan pindah ke Jakarta waktu aku usia 3 tahu, aku akan mendapat pendidikan yang sangat baik dari kecil tanpa harus memikirkan biaya karena sekolah di Medan itu tidak mahal biayanya biarpun di sekolah paling unggulan sekalipun. Lalu andaikan aku disana aku pasti akan seperti kakakku, dari usia 8 tahun sudah menyentuh musik. Aku juga bisa seperti dia, kursus ballet sejak tubuhnya masih lentur. Tapi aku?

Aku tinggal di Jakarta, karena tak punya uang aku hanya bisa sekolah di sebuah sekolah dekat rumahku yang uang sekolahnya hanya 30000 rupiah saat aku kelas 1 SD. Kesenangan terpendam karena bisa kursus bahasa inggris dan mandarin di usia 7 tahun muncul begitu saja karena aku mengira aku tidak seperti anak lain yang bisa kursus apapun sesuka hatinya. Aku mulai bergaul dengan teman-teman viharaku di usia itu, namun aku berbeda. Aku menumpang mobil pamanku di saat teman-temanku naik mobil pribadi ke vihara. Aku dengan kebetulan bisa kursus vokal karena ada orang baik yang menasehati ayahku untuk mengikutkan aku pada kursus itu berhubung aku sangat suka bernyanyi. 3 tahun aku memohon pada ibuku agar bisa kursus biola dan keinginan itu tercapai setelah aku kelas 2 SMP. Keinginan yang sudah lama sekali terus muncul dalam benakku, untuk kursus piano, setelah piano itu telah dipindahkan ke rumahku, namun orang tuaku hanya berkata "kursus piano itu mahal". Lalu di saat aku benar-benar menyadari apa yang menjadi mimpi dan cita-citaku, semua terlambat.

"Guru musik bagi orang cacat", itu cita-citaku yang sangat mulia bagi teman sekolahku, Debby. Namun untuk mencapai itu aku tak yakin aku bisa. Aku tidak ragu kalau aku punya kesabaran yang tiunggi dalam mengajari orang, terlebih lagi orang cacat. Tapi aku tidak tahu bisakah aku menjadi guru musik untuk mereka (orang-orang cacat), apdahal untuk mnegejarnya pun aku sudah terlambat. Aku harus kuliah jurusan musik. Tapi aku tidak bisa, tak ada perguruan tinggi yang mau mendengarkan permainanmu kalau kau bukan siswa yang telah tamat grade 8 ABRSM. Mereka tidak akan pernah percaya pada kemampuan seorang siswa yang hanya grade bawah, apalagi orang yang baru menyentuh kursus piano 2 bulan sepertiku.

Aku tidak diijinkan untuk kursus piano, maka dari itu kegemaranku pada piano hanya bisa ku salurkan dengan otodidak saja. Lalu saat kakakku mengetahui kalau aku sesungguhnya ingin kuliah major piano, dengan percaya diri dia katakan kalau aku harus mengejar, agar aku bisa kuliah. Awalnya, karena kakakku dulu juga pernah menggeluti bidang musik, aku percaya saja kalau aku bisa mengejarnya. Tapi sekarang aku mengetahui, seberapa giat aku mengejar itu, selama aku bukan siswa grade 8, aku akan terus kesulitan untuk mencapai cita-cita itu.

Kalau saja aku tidak ikuti kata-kata pamanku untuk sekolah di SMA Santa Ursula, dan kalau saja aku tidak mengikuti kata-kata ibuku untuk masuk jurusan IPA, lalu mengikuti kata hatiku untuk masuk jurusan Bahasa, aku pasti punya banyak waktu untuk mengejar semua itu, biarpun aku tetap tidak punya ijazah emas itu, tapi setidaknya aku bisa saja memperlihatkan permainanku yang bisa ku banggakan. Tapi waktuku tersita hanya untuk mempelajari hal yang tidak akan pernah berguna bagiku di masa depan nanti.

Aku terkadang berkata dalam hati. Ini tidak adil. Orang tua dan kakakku memaksaku harus bisa mengejar dan memperlihatkan pada mereka sebuah permainan piano yang bisa dikagumi. Tapi mereka jugalah yang melarangku masuk jurusan yang seharusnya lebih membantuku untuk mengejar impian itu. Ibuku hanya bisa memasang tampang prihatin saat orang-orang dari universitas manapun berkata tidak bisa padaku saat aku katakan aku belum pernah mengikuti ujian apapun. Kakakku hanya bisa berkata "Mengejar grade 6 dan 7 itu perlu 4 tahun, mana bisa hanya dalam waktu 5 bulan saja". Lalu ayahku hanya bisa berkata "Siapa suruh kau tidak mau kursus piano dari awal?"

Astaga..

Aku kesal..

Apa-apaan mereka..

Mereka yang melarangku untuk kursus. Mereka yang tidak mau aku kursus piano. Mereka yang mau aku mnegikuti kata-kata mereka. Tapi sekarang? Mereka salahkan aku kembali. Seolah-olah keterlambatanku belajar musik adalah salahku sendiri.

Tapi tetap saja aku tidak bisa katakan apa-apa. Tidak ada gunanya salahkan mereka. Semua tidak akan kembali. Tidak akan pernah kembali. Waktu tidak akan pernah terulang kembali. Takkan mungkin terulang kembali.

No comments: