Monday 4 June 2012

Perspektif

Satu hal yang aku tak mengerti dari dunia ini: mengapa kita harus selalu hidup dalam kurungan perspektif kalangan mayoritas? Ya, manusia itu makhluk sosial. Takkan mungkin seorang manusia bisa hidup di dunia, seorang diri, tanpa mengenal siapapun dan bergantung pada siapapun. Manusia butuh teman, untuk membantunya di saat sulit, menemaninya di saat suka dan duka. Manusia butuh orang - orang lain, baik yang dikenal ataupun tidak dikenal, untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Ya, memang seperti itu adanya. Namun, manusia adalah makhluk yang memiliki alam pikirannya sendiri. Masing - masing manusia miliki satu alam pikiran, dan itu membuatnya memiliki cara pandang sendiri. Setiap manusia berbeda - beda, dan bayangkan dalam kehidupan sosialis kita dimana banyak manusia hidup bersama membentuk suatu kelompok sendiri, akan ada banyak sekali cara pandang yang berbeda - beda dan itu akan menghasilkan perspektif – perspektif, yang sesungguhnya hanya dimiliki kalangan mayoritas, yang membuat manusia hidup seolah – olah di dalam “penjara aturan”. Kemarin – kemarin dulu, entah kapan tepatnya, aku diberi perspektif bahwa orang yang baru saja putus dengan pacarnya tidak sebaiknya langsung memiliki orang lain yang baru lagi yang mengisi hatinya. Dan aku juga pernah diberi sebuah perspektif bahwa seorang perempuan tidaklah baik kalau menyatakan dengan terang – terangan perasaan yang dimilikinya kepada laki – laki yang disukainya. Aku juga pernah diberikan perspektif bahwa seseorang, apalagi perempuan, yang baru saja putus dari pacarnya langsung mendapatkan yang baru lagi, itu juga sangat tercela. Aku yang dulu, peduli setan dengan semua perspektif – perspektif itu. Tapi kini, akulah orang yang merasakan hal – hal yang tak boleh dirasakan tersebut, jadi aku bimbang. Kebimbangan ini bukan karena gundah atas pandangan perspektif yang dimiliki kalangan mayoritas itu. Aku gundah justru karena perspektif itu sudah merasuki alam pikiranku cukup dalam, dan kini aku tak berani berperang dengan diriku sendiri. Aku menyukai seseorang, ya, aku menyukainya. Selayaknya aku menyukai mantan kekasihku sebelumnya, aku menyukai orang ini dengan sangat polos sampai pertanyaan sejenis“mengapa kau menyukainya?” seperti ini saja tak mampu ku jawab. Aku rasa cinta memanglah suatu hal yang tak memiliki alasan, maka itu aku yakin aku benar – benar menyukainya. Yang menjadi permasalahan adalah: hatiku tak mengijinkannya. Sesungguhnya, memang tidak seharusnya aku miliki perasaan ini. Karena ini hanyalah sebuah perasaan suka yang takkan pernah terbalaskan (tentu saja sebenarnya tak pernah juga kuharapkan balasan). Namun karena hatiku terus berperang dengan semua perspektif – perspektif persetan itu, aku jadi gundah, dan sesungguhnya kegundahan ini memperbesar rasa suka itu, yang semestinya biasa – biasa saja. Hmm, semestinya? Ya, semestinya. Lalu apa sesungguhnya semestinya itu? Lagi – lagi, perspektif. Beijing, 5 Juni 2012, 12: 58 P.M, Building Three Tsinghua University

No comments: