Thursday 15 January 2009

Berhenti Bicara

Aku tak tahu apa memang ada yang salah pada diriku, atau memang sebenarnya berbicara adalah hal yang salah di dunia ini. Namun yang bisa dipastikan adalah, mulai hari ini, berbicara sudah bukan sesuatu yang bisa aku anggap hal yang baik lagi.

Aku ini seorang perempuan yang sebenarnya sangat suka bicara. Aku bawel, aku suka bercerita apa saja kepada orang yang sangat dekat denganku (menurutku). Meskipun sesungguhnya aku jarang menyampaikan apa isi perasaanku pada siapapun, meskipun yang ku ceritakan itu tidak penting, namun aku tetap suka bicara. Kesukaanku pada berbicara membuatku bisa merasa dekat dengan orang lain, apalagi keluargaku.

Jangan katakana aku aneh, kalau mulai hari ini aku tidak mau suka bicara lagi seperti dulu. Aku tak mau merasa sangat dekat pada siapapun lagi sekarang. Ketika aku merasa dekat kepada seseorang, aku akan merasa nyaman berbicara dengan orang itu, dan perlahan-lahan aku akan mengeluarkan apa yang selalu ada dipikiranku, apapun yang kurasakan. Tapi siapa sangka, bahwa ternyata kalau aku menceritakan kesukaanku, aku malah jadi tidak dimengerti.

Tidak tahu sesungguhnya aku memang gila, sampai tak ada yang bisa mengerti aku. Semua pikiran baik jadi buruk, semua yang positif menjadi negatif, semua yang menurutku benar jadi salah. Mungkin memang benar aku gila, jadi siapapun tak ada yang mengerti aku.

Tidak tahu apa mungkin karena aku sesungguhnya tidak memahami dunia, hingga alam pikiranku terbalik dari kenyataan yang sesungguhnya.

Tidak tahu, apa mungkin sebenarnya tidak ada yang mau mengerti aku. Mungkin aku dekat dengan mereka hanya karena ikatan darah. Sesungguhnya, kalau tak ada ikatakn apapun, mungkin aku hanya sebuah sampah.

Aku tidak mengerti, yang jelas, selalu saja aku yang tertutup ini, dipaksa untuk selalu tertutup.

Senin, 12 Januari 2009

Aku tidak pernah tahu kenapa hari ini harus selalu terulang, lagi dan lagi. Belakangan ini, karena Ibuku yang pergi ke luar kota selama 2 minggu, dan 2 minggu kemudian aku pergi ke luar negeri, membuat aku punya banyak waktu untuk bersama dengan kakakku. Semakin lama aku sangat yakin bahwa aku sangat dekat dengan kakakku, dan aku yakin dia pasti mendengarku. Karena itu, aku selalu memikirkan bagaimana supaya tidak menyusahkannya. Tapi ternyata segala yang kupikirkan salah. Yang aku pikir akan mengentengkannya malah menyusahkannya.

Aku katakan bahwa aku yang tadinya memang ingin sekali mengambil sebuah jurusan di perguruan tinggi nanti, namun tidak kesampaian, kembali diyakinkan kembali pada guruku yang semula meragukan keinginanku itu. Dia katakan, asal aku mengejarnya, aku akan menggapainya. Aku katakan pada kakakku. Dia diam, dan memang selalu begitu. Justru diamnyalah yang membuat semuanya terlambat. Saat aku tahu tak mungkin aku masuk musik, aku katakan aku ingin mengambil jurusan A. Dia diam. Lalu setelah semua tawaran beasiswa jurusan yang selama ini dia ingin aku mengambilnya telah tutup, baru dia berkata kalau dia tidak setuju. Lalu aku mencari lagi, terus memutar otakku. Lalu aku katakan aku mau mengambil B, dia diam. Lalu dia tidak setuju lagi. Aku semakin yakin kalau lama-lama, sampai di Gradnite nanti, ketika semua teman-teman telah tahu kemana tujuan mereka, aku hanya akan tertawa dan berkata “Aku tidak tahu”. Semakin aku takut, semakin kesal Ibu dan Kakakku. Lalu dengan kesal mereka katakan “Ambillah sesuka hatimu”, di saat pendaftaran untuk universitas yang aku inginkan telah tutup. Aku sudah putus asa, sampai akhirnya aku putuskan untuk mengikuti apa saja keinginan mereka. Lalu kembali aku dibuat goyah, dengan bertanya-tanya kalau aku mengikuti keinginan mereka yang sebenarnya susah itu, apakah aku bisa, dan mereka meragukan kemampuanku. Aku tak mengerti mengapa mereka begitu. Mungkin sebagai siswa terbodoh di sebuah sekolah favorit, aku pantas diragukan. Aku pikir, apa mungkin lebih baik aku mengikuti kata hatiku saja. Lalu aku diserang lagi. Aku lelah, sangat lelah. Aku tidak mau memikirkannya lagi.

“Apa sih yang kau pusingkan? Sudahlah, ambil saja apa yang aku katakan.” Kata kakakku.

“Mahal…” kataku, lalu aku langsung dicercanya. Dia bilang tidak suka aku berkata begitu.

Aku tidak mengerti, setiap kali aku katakan pikiranku, pasti keluargaku tidak mau mengerti. Merka menganggap aku adalah orang bodoh yang sedang bicara. Sehingga apa yang aku pikirkan, yang sebenernya memikirkan mereka, dicerca. Merka malah katakan kalau aku begini terus aku akan gila. Yang memang, mungkin aku punya kelainan jiwa yang tidak terlihat, namun sebagai keluarga mereka mengetahuinya. Tapi mereka juga sesungguhnya tidak boleh memarahi orang yang sedang memperhatikan mereka, meskipun orang itu gila.

Aku tahu keuangan keluargaku sulit. Ibuku selalu mengatakan padaku. Pinjam sana sini, mati-matian jual makanan untuk menuntupi kerugian dalam usaha Ayahku, dll. Kakakku yang berpenghasilan itu memang selalu direpotkan. Ibu selalu mengajarkan aku kalau aku harus menghormatinya, karena tanpa dia keluarga ini tidak tahu sudah jadi apa. Namun orang gila, bagi mereka tetap gila. Perkataanku, pikiranku, semua tak penting. Aku mati-matian mencari universitas paling murah sedunia agar bisa mnegurangi beban kakakku yang sudah sangat banyak itu. Aku hanya katakana kalau aku tidak mau merepotkan, aku akan cari yang murah. Lalu baik Kakakku maupun Ibuku yang menyuruhku jangan menambah bebanku, malah mengatakan kalau aku terlalu banyak berpikir, aku akan gila. Itu sama saja dengan menganggap aku sudah gila. Padahal aku tidak mengerti, apa sih yang gila dari sebuah rasa perhatian?

Karena itu, aku tidak akan pernah mau bicara lagi. Aku takkan pernah ceritakan apapun yang aku pikirkan lagi, sebelum aku benar-benar dikira gila karena terlalu banyak memikirkan orang lain. Sebelum sesuatu yang baik menjadi semakin buruk, lebih baik aku diam saja. Tetap bersembunyi dalam ketertutupan. Berhenti bicara.

No comments: