Tuesday 6 January 2009

Ribut Sendiri

Aku tidak mengerti dan mungkin selamanya takkan pernah mengerti mengapa dunia ini begitu kompleks dan memiliki isi yang begitu majemuk. Saking majemuknya, sampai-sampai memunculkan keanehan yang membingungkan. Ya, inilah yang tengah terjadi pada temanku yang satu, dengan yang lainnya.

Senin, 22 Desember 2008, tiba-tiba HP-ku berbunyi sekitar pukul 21.00 WIB. Isinya mengatakan bahwa salah satu sahabatku, Valencia Ilona, tidak mendapat ijin dari Ibunya untuk pergi bersama kami (aku dan teman-temanku, yang sesungguhnya bertujuh) dikarenakan tujuan kami pergi bermain ice skating (sesungguhnya tujuan satu orang). Itu semua dikarenakan dia sedang sakit pilek dan tak mungkin kita memaksa seorang manusia normal yang sedang sakit masuk ke tempat dingin seperti itu. Aku sih, fine, aku tidak apa-apa. Yang penting semua berkumpul, mau pergi ke mana pun terserah. Tapi ternyata ada satu orang yang tidak senang. Dolly Deborah Adlian, ya dialah yang sekarang tengah diperdebatkan. Dia katakan, dia sakit hati. Jauh-jauh hari dia merencanakannya, namun tiba-tiba tidak jadi. Aku mengerti, sangat mengerti, di kala suatu keinginan besar tidak dituruti, hati pasti benar-benar merasa kesal. Apalagi untuk manusia sejenis dia, yang tidak mungkin tidak dituruti keinginannya, harus dituruti, atau akan terjadi perang dunia yang sangat dahsyat dan berlangsung bertahun-tahun lamanya. Tapi yang ingin aku tekankan adalah, mau sampai kapan dia harus jadi tuan putri yang bertahtakan kedudukan tinggi dan dituruti keinginannya? Akan ada kalanya dia harus turun tahta, hidup itu kan tidak selalu di atas. Kalau memang dalam sepanjang hidupnya dia tidak pernah mengenal kata “mengalah” aku rasa inilah saatnya. Mengapa dia tidak bisa katakan “Baiklah, kita ke tempat lain.”?

Bukan aku membela siapa-siapa, aku hanya ingin katakan pandanganku. Kalau saja satu orang berkata ingin, lalu 6 orang berkata tidak, apakah masih tetap harus dituruti? Aku sudah pernah mengalami ini sebelumnya, ketika orang yang pernah masuk ke dalam hidupku ternyata adalah orang setipe teman baikku yang satu ini. Jujur, aku bingung, kenapa sepanjang hidupku aku selalu bertemu orang-orang seperti ini?

Lalu kalau aku mau katakan isi hatiku, sungguh aku merasa tidak dihargai, sungguh. Kalau saja blog ini bukan hanya miliku, tapi juga milik Susanti Wijaya dan Ervina Nengsy, mereka MUNGKIN akan katakan hal yang sama. Kami bertiga adalah orang yang akan melanjutkan study abroad setelah menyelesaikan pendidikan di bangku SMA nanti, dan itu hanya tinggal kurang lebih setengah tahun lagi. Kami bersekolah di sekolah yang berbeda, punya kesibukan masing-masing dan sangat jarang bisa ada waktu untuk berkumpul. Susah-susah mencari waktu, lalu akhirnya kami bisa berkumpul (dan kami tidak tahu kapan bisa berkumpul lagi karena hari esok memang tidak ada yang tahu), ternyata malah harus diwarnai dengan ketidakenakan ini. Friska Marcella mencoba membujuk Dolly dengan membawa nama kami bertiga (khususnya Ervina, yang akan terlebih dahulu pergi). Katanya kami akan pergi, sebaiknya sekarang kalau bisa kumpul ya kumpul. Tapi malahan si sinting itu berkata bahwa dia akan pergi dengan temannya saja. Itu sebuah alasan. Dia tidak pernah benar-benar tulus mengajak kami pergi. Dia hanya ingin bermain Ice Skating, lalu karena kami ingin berkumpul dia menggunakan kesempatan ini. Siapapun yang tidak menurutinya akan dibilang “Pengkhianat” olehnya. Jadi sesungguhnya, sebodo amat dengan kami bertiga yang akan pergi, atau kebersamaan kami, semua tidak ada artinya kalau kami tidak menuruti keinginannya. Mungkin kalau tiba-tiba aku bilang aku akan pergi lalu aku tidak akan kembali lagi, tapi aku katakan aku tak mau bermain ice skating dengannya, dia akan langsung memalingkan muka dan tidak mau peduli aku ke ujung dunia atau terlontar dari Bima Sakti. Lalu dengan kesal pada satu orang dia akan memalingkan muka kepada semuanya, karena dialah Sang Ratu. Yang membuatku kecewa adalah, dari kami bertujuh, aku menganggapnya sebagai teman terbaikku, teman yang paling dekat denganku. Lalu dengan seenaknya dia tidak mau peduli perasaanku, hanya mempedulikan Ice Skatingnya lalu memalingkan muka dariku, hanya karena aku menasehatinya, mencoba mengajarinya bagaimana kehidupan itu sesungguhnya dan seberapa pentingnya arti kata “Mengalah” dalam menghadapi kehidupan. Dia kesal dengan Valencia, tapi aku juga kena getahnya. Semua, kami berenam, dia tak mau kenali, hanya karena seorang Valen katakan ia tak bisa ikut bermain Ice Skating.

Memang, semua ini tak bisa salahkan dia sepenuhnya. Tapi yang aku sesalkan adalah sifat kekanak-kanakkannya, yang sudah pasti akan menjerumuskan dia suatu hari nanti. Ketika aku katakan, “Kau ini kekanak-kanakkan sekali sih?”, dia hanya menjawab, “Aku memang begitu”. Ya, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Orang ini tidak tertolong lagi, dan aku menyerah untuk memberitahukannya tentang kebenaran, seperti aku menyerah saat menghadapi orang yang pernah masuk ke dalam kehidupanku. Orang ini terlalu High Profile, terlalu tinggi sampai aku tidak bisa mencapainya. Namun sangat disayangkan, perilakunya terlihat rendah, Low Class. I give up.

Aku sangat berharap dia membaca artikelku ini (meskipun kelihatannya itu tak mungkin). Mungkin dia akan semakin merasa dirinya adalah benar dan dia akan semakin melambung tinggi di langit dengan High Profile nya yang sesungguhnya Low Class. Tapi aku hanya ingin dia tahu, semua yang aku katakan di artikel ini adalah deskripsi yang paling benar tentang dirinya, bukan deskripsi yang subjektif.

No comments: